Berikutbeberapa dampak alih fungsi lahan yang perlu anda ketahui: 1. Menurunkan kesejahteraan petani. Diantara dampak alih fungsi lahan yang pertama adalah menurunnya kesejahteraan petani. Hal ini bisa terjadi akibat dari adanya perubahan lahan yang tadinya mereka kelola menjadi dikelola oleh orang lain.
DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI SEKTOR PERTANIAN Ide pokok 1. Perubahan iklim terhadap produksi pangan. 2. Iklim Curah hujan mengakibatkan meningkatnya hama padi. 3. Dampak perubahan ilkim terhadap sector peternakan. Perubahan iklim menjadi salah satu ancaman masalah yang berkelanjutan serius terhadap produksi pangan di sector pertanian. Penyebab utama adalah dari kegiatan manusia yang dapat meningkatnya gas CO2 mendorong terjadinya pemanasan global salah satunya yaitu gerakan rumah kaca. Banyaknya emisi yang disebabkan oleh semakin majunya industri yang berbanding lurus dengan konsumsi energi. Sumber penghasil gas rumah kaca seringkali kita jumpai di sekeliling kita, misalnya penggunaan energi listrik, aktivitas menggunakan kendaraan bermotor juga membakar sampah. Bahkan dalam sepiring makanan kita dapat ditelan sumber karbon yang merupakan penyumbang gas rumah kaca. Nasi dan sayuran berasal dari pertanian yang menggunakan pestisida, daging berasal dari peternakan dimana kotoran hewannya menghasilkan gas metana. Limbah makanan dari sisa makanan yang membusuk juga menghasilkan gas metana. Derivasi dampak langsung perubahan iklim terhadap sektor pertanian antara lain adalah degradasi dan penciutaan sumberdaya lahan, dinamika anomali ketersediaan air dan kerusakan seumberdaya genetik, penurunan produksi dan kegagalan panen Asnawi, 2005. Perubahan ini juga berdampak pada pemanasan global dimana suhu di bumi akan naik secara signifikan yang ditandai dengan hal-hal antara lain mencairnya es di kutub, rusaknya ekosistem, naiknya ketinggian permukaan air laut, perubahan iklim yang ekstrim, peningkatan curah hujan dan kemarau yang tidak teratur secara signifikan di seluruh wilayah yang ada di dunia khususnya Indonesia. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI SEKTOR PERTANIAN Ide pokok 1. Perubahan iklim terhadap produksi pangan. 2. Iklim Curah hujan mengakibatkan meningkatnya hama padi. 3. Dampak perubahan ilkim terhadap sector peternakan. Perubahan iklim menjadi salah satu ancaman masalah yang berkelanjutan serius terhadap produksi pangan di sector pertanian. Penyebab utama adalah dari kegiatan manusia yang dapat meningkatnya gas CO2 mendorong terjadinya pemanasan global salah satunya yaitu gerakan rumah kaca. Banyaknya emisi yang disebabkan oleh semakin majunya industri yang berbanding lurus dengan konsumsi energi. Sumber penghasil gas rumah kaca seringkali kita jumpai di sekeliling kita, misalnya penggunaan energi listrik, aktivitas menggunakan kendaraan bermotor juga membakar sampah. Bahkan dalam sepiring makanan kita dapat ditelan sumber karbon yang merupakan penyumbang gas rumah kaca. Nasi dan sayuran berasal dari pertanian yang menggunakan pestisida, daging berasal dari peternakan dimana kotoran hewannya menghasilkan gas metana. Limbah makanan dari sisa makanan yang membusuk juga menghasilkan gas metana. Derivasi dampak langsung perubahan iklim terhadap sektor pertanian antara lain adalah degradasi dan penciutaan sumberdaya lahan, dinamika anomali ketersediaan air dan kerusakan seumberdaya genetik, penurunan produksi dan kegagalan panen Asnawi, 2005. Perubahan ini juga berdampak pada pemanasan global dimana suhu di bumi akan naik secara signifikan yang ditandai dengan hal-hal antara lain mencairnya es di kutub, rusaknya ekosistem, naiknya ketinggian permukaan air laut, perubahan iklim yang ekstrim, peningkatan curah hujan dan kemarau yang tidak teratur secara signifikan di seluruh wilayah yang ada di dunia khususnya Indonesia. Gambar 1. Dampak perubahan iklim pada pertanian Sumber Mongabay Gambar menunjukan bahwa Kemarau berkepanjangan akibat perubahan iklim bisa berdampak terhadap berkurangnya pasokan pangan dan menurunkan gizi konsumen. Padahal sebelumnya mereka bisa berganti-ganti komoditas yang ditanam, termasuk buah-buahan. Akibatnya, setelah April akan terjadi kekurangan buah-buahan yang bisa berdampak pula pada kekurangan gizi. Dampak perubahan iklim makin terasa di tingkat konsumen, dari yang sebelumnya seolah-olah hanya di tingkat petani Nana, 2019. Kekeringan ekstrem terjadi hampir di semua daerah di Indonesia dan diperkirakan membuat pasokan beras nasional hingga 2 juta ton Secara global, kekurangan pangan mengakibatkan krisis kemanusiaan, seperti banjir imigran dari Amerika Selatan menuju Amerika Serikat. Adaptasi di tingkat petani saja, misalnya melalui penghematan air, tidak cukup dan harus diimbangi dengan teknologi dan kebijakan. Kemarau berkepanjangan yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia hingga awal November ini bisa berdampak terhadap krisis pangan. Petani perlu mengantisipasi dengan perubahan pola tanam padi, termasuk dengan sistem intensifikasi padi atau system of rice intensification SRI. Peningkatan intensitas hujan mengakibatkan banjir akan mempengaruhi terhadap sawah menjadi lebih rawan akan hama dan penyakit. Salah satu dampak penyakitnya adalah berupa serangan hama pada tanaman padi, di samping itu juga berpeluang akan lebih terserang wereng mengakibatkan tanaman padi mati. Curah hujan berikut diperoleh dengan menggunakan data observasi BMKG mulai dari tahun 1981-2018. Grafik 1. Populasi Hama Wereng Sumber Sianipar Pada grafik tersebut terlihat peningkatan dan penurunan populasi hama wereng pada padi. Petanipun mengambil tindakan cepat dalam mengahadapi hama sehingga tingkat kegagalan akibat serangan bakteri dan hama itu hanya berkisar 5-7 persen. Menyikapi hal tersebut, para petani untuk pro aktif melaporkan setiap gejala serangan hama yang ada di daerahnya. Tujuannya agar langkah-langkah pencegahan bisa dilakukan untuk melokalisir penyebaran, dan jika sudah terlanjur menyerang tindakan pembasmian akan cepat dilakukan. Untuk mengawasi dan mengamati penyebaran hama semaksimal mungkin dengan personel yang ada harus melakukan langkah-langkah antisipasi diantaranya dengan melakukan penyemprotan cairan sejenis insektisida tambahnya. Perubahan iklim juga berdampak pada kesehatan hewan yakni akibat dari pertumbuhan yang tidak optimal dan stress akibat dari kekeringan. Perubahan pada curah hujan, kelembaban, gas akan mempengaruhi tumbuhnya jamur, serangga berpeluang menjadi penyakit pada hewan. Pengaruh lain juga terhadap kurangnya ketersediaan pakan alami karena kemarau ekstrim. Karena pada dasarnya pakan alami dipengaruhi oleh curah hujan. Jika pada musim kemarau ekstrim maka pakan pun menurun dari segi kualitas dan kuantitas. Mencegah kepunahan hewan ternak harus membutuhkan upaya-upaya yang tepat dan berkelanjutan. Sebagai contoh mengembangbiakkan kerbau rawa sebagai salah satu upaya pemenuhan kebutuhan protein hewani bagi masyarakat Kalimantan Timur dalam program bertanggungjawab untuk meningkatkan populasi dan kualitas kerbau rawa melalui program seleksi, inseminasi buatan dan meningkatkan mutu pakan ternak nasional. Table 1. Populasi hewan di IndonesiaSumber Pada table menunjuakn penaikan dan penurunan pupulasi hewan ternak yang ada di Indonesia. Dalam hal ini Indonesia terus menekan populasi hewan ternak agar bisa memenuhi kebutuhan konsumen baik yang ada di Indonesia ataupun untuk kebutuhan ekspor. Dampak yang paling merugikan adalah terjadinya penurunan produktivitas. Hal ini disebabkan oleh cekaman panas heat stress akibat peningkatan temperatur lingkungan. Pada ternak sapi perah cekaman panas menyebabkan terjadinya penurunan produksi susu, demikian juga pada sapi potong akan menyebabkan penurunan pertambahan berat badan. Adanya cekamam panas secara langsung akan menyebabkan penurunan konsumsi, gangguan metabolisme dan utilisasi nutrien. Cekaman pakan juga akan berdampak pada penurunan efesiensi reproduksi ternak Permana, 2018. Komite WHO pada 1958 mendefinisikan zoonosis sebagai salahsatu penyakit yang secara alamiah dapat menular di antara hewan vertebrata dan manusia. Demikian pula yang tercantum di Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Penyakit zoonosis merupakan penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia, ataupun sebaliknya. Potensi wabah zoonosis bukan tanpa sebab disematkan kepada Indonesia. Kementerian Kesehatan telah mencatat bahwa pada saat ini terdapat sekitar 150 penyakit zoonosis yang mengancam Indonesia, kemunculan penyakit tersebut merupakan dipicu berbagai faktor yang ada , seperti arus globalisasi, deforestasi penggundulan hutan, perubahan iklim, serta peningkatan arus urbanisasi dan populasi manusia. Kutipan dan Parafrase 1. Selain itu, dampak perubahan iklim ini ditandandai dengan pengurangan dinamika anomaly ketersediaannya alir di lahan yang berdampak besar pada pertanian.  Derivasi dampak langsung perubahan iklim terhadap sektor pertanian antara lain adalah degradasi dan penciutaan sumberdaya lahan, dinamika anomali ketersediaan air dan kerusakan seumberdaya genetik, penurunan produksi dan kegagalan panen Asnawi, 2005. 2. Selain itu, perubahan ilkim berdampak pada menurunan produksi pangan yang tak hanya dirasakan oleh petani melainkan sebagai konsumen juga ikut merasakannya.  Padahal sebelumnya mereka bisa berganti-ganti komoditas yang ditanam, termasuk buah-buahan. Akibatnya, setelah April akan terjadi kekurangan buah-buahan yang bisa berdampak pula pada kekurangan gizi. Dampak perubahan iklim makin terasa di tingkat konsumen, dari yang sebelumnya seolah-olah hanya di tingkat petani Nana, 2019 3. Dalam hal ini pada sector peternakan terjadi peningkatan stress pada hewan dikarenakan temperature pada lingkungan peternakan.  Dampak yang paling merugikan adalah terjadinya penurunan produktivitas. Hal ini disebabkan oleh cekaman panas heat stress akibat peningkatan temperatur lingkungan. Pada ternak sapi perah cekaman panas menyebabkan terjadinya penurunan produksi susu, demikian juga pada sapi potong akan menyebabkan penurunan pertambahan berat badan. Adanya cekamam panas secara langsung akan menyebabkan penurunan konsumsi, gangguan metabolisme dan utilisasi nutrien. Cekaman pakan juga akan berdampak pada penurunan efesiensi reproduksi ternak Permana, 2018 DAFTAR PUSTAKA Asnawi, R. 2005. PERUBAHAN IKLIM DAN KEDAULATAN PANGAN DI INDONESIA. Perubahan Iklim dan Kedaulatan Pangan di Indonesia, 294-295. Nana. 2019, November 12. Retrieved from Mongabay situs pertanian Permana. 2018, Agustus 2. Dampak Perubahan Iklim terhadap Peternakan. Retrieved from IDAT G PERMANAs Blog ResearchGate has not been able to resolve any citations for this has not been able to resolve any references for this publication.
UpayaMengatasi Dampak Perubahan Iklim. Upaya Mengatasi Dampak Perubahan Iklim Di Sektor Pertanian - Iklim merupakan kondisi cuaca untuk jangka waktu yang lama, setidaknya 30 tahun, yang bersifat permanen. Elemen iklim seperti suhu, curah hujan, kelembaban udara dan radiasi matahari, di samping kondisi tanah, sangat mempengaruhi pertumbuhan, produksi, dan kualitas tanaman. Dengan julukan Negara agraris yang dijunjungnya, tentu saja Indonesia memiliki banyak sekali potensi pertanian atau perkebunan yang bisa dijadikan sumber perekonomian Negara. Akan tetapi, seiring berkembangnya sistem perekonomian serta meningkatnya jumlah penduduk, maka kebutuhan lahan untuk kepentingan dalam bidang selain pertanian semakin meningkat data statistik tahun 2014, luas lahan pertanian di Indonesia mencapai angka juta Hektar. Dari jumlah tersebut, dapat dibagi menjadi tiga kategori yakni hortikultura 567 ribu hektar, tanaman pangan 19 juta hektar, dan terakhir tanaman perkebunan sebesar 22 juta beberapa dampak alih fungsi lahan pertanian 1. Berkurangnya lahan pertanianDengan adanya alih fungsi lahan menjadi non-pertanian, maka otomatis lahan pertanian menjadi semakin berkurang. Hal ini tentu saja memberi dampak negatif ke berbagai bidang baik secara langsung maupun tidak Menurunnya produksi pangan nasionalAkibat lahan pertanian yang semakin sedikit, maka hasil produksi juga akan terganggu. Dalam skala besar, stabilitas pangan nasional juga akan sulit tercapai. Mengingat jumlah penduduk yang semakin meningkat tiap tahunnya sehingga kebutuhan pangan juga bertambah, namun lahan pertanian justru semakin Mengancam keseimbangan ekosistemDengan berbagai keanekaragaman populasi di dalamnya, sawah atau lahan-lahan pertanian lainnya merupakan ekosistem alami bagi beberapa binatang. Sehingga jika lahan tersebut mengalami perubahan fungsi, binatang-binatang tersebut akan kehilangan tempat tinggal dan bisa mengganggu ke permukiman warga. Selain itu, adanya lahan pertanian juga membuat air hujan termanfaatkan dengan baik sehingga mengurangi resiko penyebab banjir saat musim Sarana prasarana pertanian menjadi tidak terpakaiUntuk membantu peningkatan produk pertanian, pemerintah telah menganggarkan biaya untuk membangun sarana dan prasarana pertanian. Dalam sistem pengairan misalnya, akan banyak kita jumpai proyek-proyek berbagai jenis jenis irigasi dari pemerintah, mulai dari membangun bendungan, membangun drainase, serta infrastruktur lain yang ditujukan untuk pertanian. Sehingga jika lahan pertanian tersebut beralih fungsi, maka sarana dan prasarana tersebut menjadi tidak terpakai Banyak buruh tani kehilangan pekerjaanBuruh tani adalah orang-orang yang tidak mempunyai lahan pertanian melainkan menawarkan tenaga mereka untuk mengolah lahan orang lain yang butuh tenaga. Sehingga jika lahan pertanian beralih fungsi dan menjadi semakin sedikit, maka buruh-buruh tani tersebut terancam akan kehilangan mata pencaharian Harga pangan semakin mahalKetika produksi hasil pertanian semakin menurun, tentu saja bahan-bahan pangan di pasaran akan semakin sulit dijumpai. Hal ini tentu saja akan dimanfaatkan sebaik mungkin bagi para produsen maupun pedagang untuk memperoleh keuntungan besar. Maka tidak heran jika kemudian harga-harga pangan tersebut menjadi mahal7. Tingginya angka urbanisasiSebagian besar kawasan pertanian terletak di daerah pedesaan. Sehingga ketika terjadi alih fungsi lahan pertanian yang mengakibatkan lapangan pekerjaan bagi sebagian orang tertutup, maka yang terjadi selanjutnya adalah angka urbanisasi meningkat. Orang-orang dari desa akan berbondong-bondong pergi ke kota dengan harapan mendapat pekerjaan yang lebih layak. Padahal bisa jadi setelah sampai di kota keadaan mereka tidak berubah karena persaingan semakin Pendorong terjadinya Alih Lahan PertanianSejak dahulu, jumlah lahan pertanian Indonesia sendiri cenderung menurun dari tahun ke tahun akibat adanya alih fungsi lahan menjadi non-pertanian. Alih fungsi atau konversi lahan didefinisikan sebagai berubahnya fungsi awal lahan menjadi fungsi lainnya baik dari sebagian maupun keseluruhan lahan akibat adanya faktor-faktor ialah faktor-faktor pendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian a. Pertumbuhan penduduk yang pesatDengan jumlah daratan yang tetap, namun jumlah penduduk yang terus meningkat, tentu dapat menyebabkan berbagai dampak bagi lingkungan tempat tinggal mereka. Salah satunya yakni adanya alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian guna memenuhi berbagai kebutuhan hidup yang juga Kenaikan kebutuhan masyarakat untuk permukimanAdanya pertumbuhan demografi tentu saja juga menuntut kebutuhan-kebutuhan dasar termasuk tempat tinggal. Ketika lahan di daerah permukiman sudah tidak lagi mencukupi kebutuhan yang diminta, maka konversi lahan pertanian menjadi kawasan rumah menjadi pilihan sebagai salah satu solusi permasalahan Tingginya biaya penyelenggaraan pertanianUntuk mengolah sawah atau lahan pertanian dari lapisan tanah agar mendapatkan hasil yang optimal tentu saja membutuhkan modal yang tidak sedikit, belum lagi jika barang-barang pertanian tersebut mengalami kenaikan seperti pada saat naiknya harga bahan bakar minyak, maka harganya bisa melambung menjadi dua kali lipat. Kenaikan harga pupuk, benih pertanian, biaya irigasi, hingga harga sewa tenaga petani membuat para pemilik sawah mempertimbangkan untuk menjual sawah mereka atau mengalihkan fungsi lahan menjadi bangunan atau tempat Menurunnya harga jual produk-produk pertanianSelain membutuhkan modal yang lumayan, para petani juga harus siap menerima resiko lain, yakni hasil panen yang tidak baik atau bahkan gagal panen. Dimana harga jual produk pertaniannya menjadi sangat rendah atau malah tidak laku di pasaran. Jika hal ini terjadi maka petani akan menderita kerugian yang tidak sedikit pula. Tantangan lain ialah adanya penurunan harga hasil pertaniannya karena faktor-faktor Kurangnya minat generasi muda untuk mengelola lahan pertanianAnggapan masyarakat, khususnya para generasi muda mengenai sektor pertanian masih belum sepopuler bidang-bidang usaha yang lain. Para pemuda misalnya, ketika ditanya mengenai cita-cita mereka, maka hampir bisa dipastikan akan menyebutkan berbagai profesi lain selain menjadi petani. Meski tidak sedikit juga masyarakat yang telah menjadi petani sukses, namun profesi petani saat ini memang masih sering dianggap sebagai profesi yang berada pada kelas menengah ke bawah, sehingga cenderung dihindari oleh para generasi muda. Dan sebagai akibatnya, para orang tua yang mempunyai sawah atau lahan pertanian akan menjual lahannya kepada orang lain. Sedangkan bagi mereka yang mewariskan kepada anaknya yang tidak berminat mengelola sawah, maka besar kemungkinan lahan tersebut akan mengalami alih Pergantian ke sektor yang dianggap lebih menjanjikanSeiring berkembangnya pengetahuan, teknologi, serta bertambahnya wawasan para pemilik lahan pertanian, maka tidak sedikit dari mereka yang sengaja mengalihkan fungsi lahan pertanian ke sektor usaha lain. Dengan harapan perekonomian dapat semakin meningkat, mereka mulai mendirikan tempat-tempat industri, peternakan, serta tempat usaha lain di atas lahan Lemahnya regulasi pengendalian alih fungsi lahanYakni ketidaktegasan peraturan pemerintah maupun pejabat mengenai pengendalian fungsi lahan. Ketidaktegasan tersebut diantaranya meliputi kekuatan hukum, ketegasan penegak hukum, dan sanksi pelanggaran.
Berikutbeberapa dampak alih fungsi lahan pertanian : 1. Berkurangnya lahan pertanian. Dengan adanya alih fungsi lahan menjadi non-pertanian, maka otomatis lahan pertanian menjadi semakin berkurang. Hal ini tentu saja memberi dampak negatif ke berbagai bidang baik secara langsung maupun tidak langsung. 2.
Jakarta - Alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman tanpa pengawasan dapat berdampak negatif bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Apa saja dampak alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman?Alih fungsi lahan atau konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula atau yang seperti direncanakan menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri, seperti dikutip dari buku Perubahan Alih Fungsi Lahan oleh Fauziyah, dan Muh. Iman, fungsi lahan merupakan salah satu konsekuensi dari perkembangan wilayah yang merespons pertambahan penduduk. Hal ini tampak dari alih fungsi lahan sawah menjadi lahan pemukiman perkotaan. Sebagian besar alih fungsi lahan tersebut menunjukkan ketimpangan penguasaan lahan yang didominasi pemilik izin mendirikan bangunan pemukiman, baik secara horizontal real estate atau vertikal apartemen.Dampak alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman yakni sebagai Turunnya produksi pertanianDampak alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman yaitu produktivitas pangan akan menjadi berkurang atau menurun, seperti dikutip dari buku Xplore Ulangan Harian SMP/MTs Kelas 8 oleh Tim Foton pertanian yang menjadi lebih sempit karena alih fungsi menyebabkan hasil produksi pangan juga menurun, seperti makanan pokok, buah-buahan, sayur, dan Hilangnya kesempatan petaniAlih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman membuat petani kehilangan kesempatan untuk menggarap lahannya secara berkelanjutan dan menjadikannya mata pencaharian. Petani juga jadi kehilangan kesempatan untuk mendapat manfaat panen atau hasil pertaniannya, baik untuk keluarga sendiri atau untuk Investasi pemerintah di bidang pengairan jadi tidak optimalDampak alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman selanjutnya yakni investasi pemerintah di bidang pengairan jadi tidak optimal. Sarana dan prasarana dalam irigasi yang sudah didanai pemerintah jadi tidak difungsikan optimal karena sebagian sasarannya kini tidak lagi lahan pertanian, tetapi Berkurangnya ekosistem sawahBerkurangnya ekosistem sawah di antaranya disebabkan oleh pembangunan pemukiman penduduk, industri, pertokoan, dan pariwisata. Ekosistem sawah yang berkurang karena alih fungsi lahan menjadi pemukiman meliputi komponen biotik dan informasi, contoh komponen biotik sawah yaitu tumbuhan seperti padi dan jagung, serangga, burung, dan keong. Sementara itu, komponen abiotik sawah yaitu seperti cahaya matahari, suhu, air, angin, batu, dan kelembaban jadi dampak alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman yaitu produktivitas pangan akan menjadi berkurang atau menurun, di samping dampak-dampak di atas lainnya. Selamat belajar ya, detikers. Simak Video "Apel siaga BPS Menandakan Mulainya Sensus Pertanian 2023" [GambasVideo 20detik] twu/pal
Halini ditunjukan oleh meningkatnya kebutuhan lahan terbangun, sehingga mendorong terjadinya konversi lahan pertanian yang intensif. mengkaji dampak konversi lahan pertanian terhadap kondisi lingkungan lahan pertanian serta kondisi sosial ekonomi petani; 2) mengkaji bentuk strategi adaptasi yang dilakukan petani dalam menghadapi konversi
Abstrak Perubahan iklim pada saat ini bukanlah hal yang baru lagi bagi manusia di bumi ini, perubahan iklim hal yang tidak dapat untuk dihindari lagi karena pemanasan global dan bisa jadi akan menyebabkan dampak yang sangat meluas bagi kehidupan manusia terutama bagi sektor pertanian. Perubahan yang terjadi pada curah hujan, peningkatan dari terjadinya iklim yang ekstrim, dan juga kenaikan suhu di udara serta naiknya permukaan air laut ialah contoh dari terjadinya perubahan iklim yang serius yang terjadi di Indonesia pada saat ini. Dalam bidang pertanian merupakan hal yang sangatserius dari terjadinya perubahan iklim. Dari tingkatan global sektor pertanian menyumbang sebesar 14% dari jumlah emisi yang ada, sedangkan dari tingkatan nasional tingkatan emisi sebesar 12% atau setara dengan 51,20 juta ton CO2, dari total emisi sebesar 436,90 juta ton CO2, bila emisi dari kebakaran hutan, degradasi hutan dan dari drainase lahan gamput yang tidak di perhitungkan. Dan jika dari ketiga aktivitas tersebut ikutr di gabungkan, kontri busi dari sekktor pertanian hanya sebenar 8% saja. Walaupun sumbangan dari pertanian terbilang kecil, namun dampak yang akan dirasakan sangat signifikan. Perubahan iklim yang ekstrim seperti terjadinya bencana banjir dan kekeringan dimana-mana akan menyebabkan dampak buruk bagi tanaman, dan tanaman yang mengalami pusa akan semakin meluas. Peningkatan air laut akan menyebkan lahan yang ada di pesisir pantai akan menciut dan menyebabkan kerusakan pada tanaman. Dampak dari perubahan iklim yang bisa dibilang semakin hari semakin besar memeperlukan upaya aktif untuk mengantisipasi dari kejadian yang tidak diinginkan, misalnya dengan melakukan dengan strategi adaptasi dan juga mitigasi. Teknologi dari mitigasi bertujuan untuk mengurangi emisi dari gas dan juga dari efek rumah kaca. Adapun ari lahan pertanian dengan cara menggunakan varietas rendah akan emisi serta teknologi pengelolaan air dan juga lahan. Adapun dari teknologi adaptasi ialah, yang dapat diterapkan melalui penyesuaian pada waktu tanam. Penggunaan dari variertas unggul yang tahan terhadap kekeringan apabila nanti terjadi, rendaman dan salinitas, dan juga pengembangan dari teknologi pengelolaan air. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Dampak Perubahan Iklim Bagi Lahan PertanianQatrin Nada20160520222Ekologi pemerintahan CProgram Ilmu PemerintahanFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Muhammadiyah Yogyakarta AbstrakPerubahan iklim pada saat ini bukanlah hal yang baru lagi bagi manusia di bumi ini, perubahaniklim hal yang tidak dapat untuk dihindari lagi karena pemanasan global dan bisa jadi akanmenyebabkan dampak yang sangat meluas bagi kehidupan manusia terutama bagi sektorpertanian. Perubahan yang terjadi pada curah hujan, peningkatan dari terjadinya iklim yangekstrim, dan juga kenaikan suhu di udara serta naiknya permukaan air laut ialah contoh dariterjadinya perubahan iklim yang serius yang terjadi di Indonesia pada saat ini. Dalam bidangpertanian merupakan hal yang sangatserius dari terjadinya perubahan iklim. Dari tingkatanglobal sektor pertanian menyumbang sebesar 14% dari jumlah emisi yang ada, sedangkan daritingkatan nasional tingkatan emisi sebesar 12% atau setara dengan 51,20 juta ton CO2, dari totalemisi sebesar 436,90 juta ton CO2, bila emisi dari kebakaran hutan, degradasi hutan dan daridrainase lahan gamput yang tidak di perhitungkan. Dan jika dari ketiga aktivitas tersebut ikutr digabungkan, kontri busi dari sekktor pertanian hanya sebenar 8% saja. Walaupun sumbangan daripertanian terbilang kecil, namun dampak yang akan dirasakan sangat signifikan. Perubahan iklimyang ekstrim seperti terjadinya bencana banjir dan kekeringan dimana-mana akan menyebabkandampak buruk bagi tanaman, dan tanaman yang mengalami pusa akan semakin air laut akan menyebkan lahan yang ada di pesisir pantai akan menciut danmenyebabkan kerusakan pada tanaman. Dampak dari perubahan iklim yang bisa dibilangsemakin hari semakin besar memeperlukan upaya aktif untuk mengantisipasi dari kejadian yangtidak diinginkan, misalnya dengan melakukan dengan strategi adaptasi dan juga dari mitigasi bertujuan untuk mengurangi emisi dari gas dan juga dari efek rumahkaca. Adapun ari lahan pertanian dengan cara menggunakan varietas rendah akan emisi sertateknologi pengelolaan air dan juga lahan. Adapun dari teknologi adaptasi ialah, yang dapatditerapkan melalui penyesuaian pada waktu tanam. Penggunaan dari variertas unggul yang tahanterhadap kekeringan apabila nanti terjadi, rendaman dan salinitas, dan juga pengembangan dariteknologi pengelolaan kunci perubahan iklim, pertanian, adaptasi, mitigasi, emisi PENDAHULUANA. Latar Belakang MasalahNegara Indonesia pada sejatinya memiliki begitu banyak keanekaragaman hayati yangtelah didukung oleh keadaan dan kondisi geografis yang berupa dataran tinggi dan juga dataranrendah. Sinar yang berasal dari matahari yang begitu banyak, curah hujan yang hampir merata diberbagai daearah Indonesia hampir setiap tahunnya, dan juga Indonesia memilikikeanekaragaman tanah yang terhampar sangat luas yang sangat memungkinkan untukpengembangan budidaya aneka ragam tanaman asli dari daerah tanah tropis. Dan jugakomoditasi introduksi dari daerah subtropis yang sebelumnya telah beradaptasi dengan iklimyang tropis. Swasembada amat penting, mengingat hampir seluruh masyarakat di Indonesiamakan makanan pokok berasal dari beras dan juga cenderung makanan pokok yang tunggal dibeberapa daerah di Indonesia. Namun upaya untuk berswasembada pada bahan pokok berasdihadapkan kepada beberapa kendala yang sering terjadi, salah satunya ialah perubahan dari perubahan iklim yang paling ekstrim yaitu kekeringan menempatai posisipertama pada kejadian gagal panen. Kondisi ini pun menjadi berimplikasi terhadap penurunanproduksi dan juga kesejahteraan bagi para petani. Selain berefek kepada penurunan produksibagi bahan pangan, perubahan iklim juga memiliki pengaruh lainnya, seperti pengaruh tidaklangsung yang dapat menyebabkan penurunan produktivitas tanaman pangan dengan adanyapeningkatan dari serangan hama dan datangnya penyakit bagi tanaman tersebut. Pada musimpenghujan tiba, biasanya perkembangan penyakit pada tanaman bermunculan seperti penyakityang datang pada tanaman padi yaitu kresek dan blas, penyakit pada tanaman cabai yaituantranoksa, dan penyakit-penyakit lain sebagainya. Perubahan iklim terhadap dan produksipertanian memiliki hubungan yang sangat erat. Hubungan dari perubahan iklim dan jugaproduksi pertanian biasanya bersifat multidimensional, mulai dari infrastruktur pertanian, sumberdaya alam, serta sitem produksi, dan juga ketahanan pangan, kesejahteraan bagi para petani danjuga masyarakat pada umumnya. Penentuan tahun terjadinya peruahan iklim berkiblat pada nilai Southem OscillationIndex SOI. Secara meteorologis, kejadian dari El Nino dan La Nina ditunjukkan oleh SOI darisamudra pasifik Agung Budi 2015 . Nilai SOI sangat bervariasi menurut dari bulan ataumelalui periode waktu yang lebih singkat. Akibat dari perubahan tekanan udara yang berbeda. Peristiewa dari La Nina yang ditandai dengan adanya nilai SOI di atas angka 8, sedangkan untukperistiwa El Nino ditandai dengan nilai SOI di bawah dari angka -8. Nilai SOI yang cenderungekstrem tidak tidak selalu menimpulkan efek serius terhadap curah hujan dan ketersediaan airbagi para petani. Jika terjadi nilai ekstrem dari SOI hanya akan berlangsung dalam waktu yangrelatif lebih singkat. Misalnya terjadi selama waktu satu minggu. Namun lain halnya jika SOIekstrem terjadi lebih dari waktu satu minggu, atau sampai pada kurun waktu berbulan-bulandapat dipastikan hal ini dapat menghambat dalam kegiatan pertanian. Jika hujan jarang trun danjuga curah hujan berkurang hal ini tentu kabar buruk bagi para petani. Hal ini akan berdampakbagi kelangsungan produksi pertanian nantinya. Perubahan iklim yang ekstream menyebabkanburuknya hasil panen bagi para petani, hal ini juga bisa menimbulkan beberapa kasus kegagalanpanen bagi para petani. Adanya perubahan iklim ditimbulkan dari berbagai macam faktor yangterjadi, bisa dari ulah tangan manusia sendiri ataupun berasal dari alam itu sendiri. Didalampaper ini akan membahas beberapa faktor dan juga penyebab dari perubahan iklim yangberdampak pada keberlangsungan lahan Rumusan MasalahDari paparan latar belakang masalah diatas dapat ditarik rumusan masalah dari paper iniadalah1. Apa itu perubahan iklim?2. Dampak apa yang diberikan dari perubahan iklim?C. Literature ReviewDidalam paper ini penulis menggunakan 15 literature review yang berbeda-beda. Berikutini akan dipaparkan teori dari literature sebagai acuan dalam penulisan paper penulis dan Judul Teori dari jurnalElza Surmaini, Eleonora Runtunuwu, IrsalLas, upaya sector pertanian dalammenghadapi perubahan iklimPertanian, terutama subsektor tanamanpangan, paling rentan terhadap perubahaniklim terkait tiga faktor utama, yaitubiofisik, genetik, dan manajemen. Hal inikarena tanaman pangan umumnya merupakan tanaman semusim yang relatifsensitif terhadap cekaman, terutamaPertanian, terutama subsektor tanamanpangan, paling rentan terhadap perubahaniklim terkait tiga faktor utama, yaitubiofisik, genetik, dan manajemen. Hal inikarena tanaman pangan umumnyamerupakan tanaman semusim yang relatifsensitif terhadap cekaman, terutamakelebihan dan kekurangan air. ElzaSurmaini,Eleorona dan Irsal 2016 P. P. Perjanjian Paris dan NationallyDetermined Migfar 2016 Risiko dampakperubahan iklim akan berkaitan denganadaptasi yang harus dilakukan. Terjadinyapeningkatan permukaan air laut akanberdampak pada masyarakat pesisir dandaerah dataran rendah di seluruh duniadengan timbulnya fenomena banjir, erosipantai dan perendaman, serta hilangnyapulau-pulau kecil. Hal ini terutama akansangat berpengaruh terhadap Hairiah, Subekti Rahayu , DidikSuprayogo dan Cahyo Prayogo, Perubahaniklim sebab dan dampaknya global dapat diartikan sebagaipeningkatan suhu rata-rata permukaanbumi dari tahun ke tahun 2016Maftu’ah, Annisa, dan Noor, TeknologiPengelolaan Lahan Rawa untuk TanamanPangan dan Hortikultura dalam KonteksAdaptasi Terhadap Perubahan IklimMaftu’ah 2016 Optimalisasi pemanfaatanlahan rawa perlu dilakukan untukmewujudkan rawa sebagai lumbungpangan. Namun dalam pengoptimalisaipemanfaatan lahan rawa sering kalidihadapkan pada berbagai masalah. Anatar lain kondisi infrastruktur masih minim,biofisik lahan pada umumnya tidak/kurangsubur, social ekonomi masyarakat, sertadampak lingkungan. Muhammad Syukur, Adaptasi Sosial PetaniTadah Hujan Terhadap Perubahan IklimStudi Kasus Pada Petani Tadah Hujan diKecamatan Sibulue, Kabupaten BoneMuhammad Syukur 2016 Pengaruhperubahan iklim terhadap sector pertanianbersifat multidimensional, mulai darisumber daya, infrastruktur pertanian, dansistem produksi pertanian, hingga aspekketahan dan kemandirian pangan, sertakesejahteraan petani dan masyarakat padaumumnya. Pengaruh tersebut dibedakanmenjadi dua indicator, yaitu kerentananvulnerable dan dampak impact.D. Kerangka Dasar Teori1. Iklim a. Definisi IklimDefinisi dari iklim dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI ialah keadaan hawasuhu, kelembaban, awan, hujan, dan sinar matahari pada suatu daerah dalam jangkawaktu agak lama 30 tahun di suatu daerah. Iklim juga diartikan sebagai kondisi rata-ratacuaca berdasarakn dari waktu yang panjang untuk suatu lokasi di bumi atau di planet tentang iklim dipelajari dalam Lahan Definisi lahan dalam KBBI ialah tanah terbuka, tanah garapan. Lahan biasanya di artikansebagai lahan terbuka yang bisa digunakan untuk menanam tumbuhan ataupun digunakanmembangun bangunan dan lain sebagainya. Lahan mencakup semua sumber daya alamyang ada yang dapat dimanfaatkan di bawah, atas, pada permukaan suatu bidanggeografis. Lahan biasanya dalam bahasa sehari-hari disebut sebagai Pertanian Tani atau sering disebut dengan sebutan pertanian merupakan sebuah mata pencahariandalam bentuk bercocok tanam, mata pencaharian dalam bentuk mengusahakan tanahdengan berbagai macam bentuk dan hasil yang akan di dapat nantinya. Pertanian padaumumnya menggunakan lahan untuk proses terbentuknya hasil dari apa yang Definisi KonsepsionalKonsep dalah suatu istilah untuk menggambarkan suatu hal yang akan secara dalam yangmeliputi keadaan atau suatu kelompok serta individu yang nantinya akan menjadi sebuahpusat penelitian ilmu sosial dan lainnya. Adapun konsep yang terdapat pada paper ini adalaha. Iklim adalah suatu sistesis dari kejadian suatu cuaca selama jangka waktu yangpanajang atau dalam jangka waktu yang lama, yang secara statistik cukup untukdigunakan untuk menunjukkan suatu nilai statistic yang berbeda dengan sebuahkeadaan disetiap Lahan Lahan diartikan sebagai suatu wilayah yang ada di permukaan bumi ini, yang padadasarnya mencakup semua komponen biosfer. Dan juga termasuk kepada permukaandaratan dengan benda-benda padat, cair dan juga gas. Lahan juga diartikan sebagailingkuang Definisi OprasionalAdapun indikator dari perubahan iklim ialah, pemanasan global, efek rumah kaca,pembakaran hutan, pembebasan lahan dan polusi penulisan paper ini kelimaindikator ini digunakan untuk pencapaian hal yang maksimal. Berikut ini gambaran daridefinisi operasional yang ada dalam paper iniPerubahan iklim a. Pemanasan globalHal ini bisa terjadi karena naiknya suhu di permukaan bumi yang menyebabkanberbagai dampak pada Efek rumah kaca Hal ini terjadi karena banyaknya pembangunan bangunan dengan bahan kaca yangmenyebabkan menipisnya lapisan ozonc. Pembakan hutanBanyak oknum yang tidak bertanggung jawab yang melakukan pembakaran hutanuntuk kepentingan pribadi, seperti untuk membangun sebuah perusahaand. Pembebasan lahanDengan melakukan pembebasan lahan dengan cara menebang hutan akan berdampakburuk bagi kehidupan di bumi ini. e. Polusi udaraDengan meningkatnya jumlah kendaraan maka polusi udara juga akan terusmeingkat, di tambah lagi dengan kebiasaan masyarakat untuk membakar Metode PenelitianMetode dalam penulisan paper ini menggunakan metode kualitatif. PEMBAHASAN1. Dasar Ilmiah Perubahan IklimUraian secara ilmiah terkait dengan perubahan iklim yang sudah diakaui secara resmi ditingkatan internasional yang sudah dibentuk oleh Intergovermental Panel on Climate ChangeIPCC. Didalam IPCC menyusun laporan yang disampaikan mslalui kajian AssessmentReports yang komprehensif setiap liama tahun yang bercerita sekitaran tentang ilmu ilmiah,teknis serta aspek social-ekonomi, penyebab, potensi serta dampak dan juga strategi bagaimanamenghadapi dari perubahan iklim. IPCC juga menyajikan laporan khusus yang juga mengkasitentang isu-isu tertentu dan juga laporan metodologi, yang memberikan sebuah panduan praktisuntuk menghitung jumlah gas rumah kaca. Laporan dari IPCC menguraikan bukti yang telah adabahwa perubahan iklim memang benar ada dan terbukti sudah terjadi. Suhu di bumi telahmengalami peningkatan sekitar 0,8°C selama dalam abad terakhir ini. Selama kurang lebih tigadekade terakhir ini terjadi secara berturut kondisi bumi kita lebih hangat dari pada keadaankondisi bumi pada dekade sebelumnya. Jika kita membandingkan kondisi bumi pada pada tahun 1750-an, kenaikan suhu global pada sekarang ini mengalami kenaikansetara dengan hal utama dari proses pemanasan global ini ialah disebabkan olehmasuknya energy panas ke lautan sekitar 90% dari total pemanasan. Dan terdapat bukti bahwalautan terus mengalami peningkatan panas selama periode ini. Disamping penomena peningkatan subhu bumi, terjadi juga peningkatan dari frekuensigelombang panas juga peningkatan dari intensitas curah hujan di berbagai wilayah di bukti-bukti kuat bahwa kondisi suhu semakin ekstrim, termasuk hari-hari yang kitajalani sekarang ini semakin hari semakin panas dan juga gelombang panas menjadi hal yangumum sejak tahun 1950. Tren kekeringan yang menghampiri secara global sukar untuk diidentifikasikan. Namun di beberapa daerah sudah jelas menunjukan kekeringan yang merekaalami dan bahkan lebih parah dan juga lebih sering. Badai tropis yang berskala 4 dan 5 diprediksiakan mengalami peningkatan frekuensi secara global. Jika kita melihat lautan sekarang sudahmengalami pengasaman, hal ini dikarenakan lautan banyak menyerap karbon dioksida. Tinggidari permukaan air laut global sudah mengalami peningkatan dengan jumlah sebesar 20 cm, inibermula sejak awal abad lalu dan terus saja mengalami percepatan yang tidak terduga. Selamaperiode 1901-2010, rata-rata dari permukaan air laut mengalami kenaikan sebesar m. Danpermukaan air laut mengalami kenaikan lebih cepat lagi pada periode 1993-2010. Laporan yang disamapaikan oleh para ahli secara khusus menyatakan bahwa dalam kurun waktu 10 tahunterakhir, di beberapa daerah yang ada di Indonesia mengalami kekurangan curah hujan kenaikan rata-rata dari air laut pada tahun 1901-2010 hanya sekitar mm/ tahunmenjadi 3,2mm/ tahunnya pada periode sekitar tahun Dampak Perubahan IklimPerubahan iklim terlah berdampak bagi kehidupan ekosistem dan juga kehidupanmanusia di seluruh bagian benua dan juga samuder. Perubahan iklim dapat menyebabkan resikoyang sangat besar bagi kesehatan manusia, pembangunan dari segi ekonomi dan juga keamananbagi pangan. Adapun tindakan untuk mengurangi emisi sangatlah penting dan juga untukmendesak masyarakat dilakukan agar menghindari dari penomena perubahan iklim. Adaptasi punsangat penting untuk dilakukan disini agar bisa menghadapi perubahan iklim. Adapun tingkatanadaptasi yang dilakukan disini tergantung dengan keberhasilan dari kegiatan dapat beradaptasi dengan melakukan persiapan untuk menghadapi beberpa resikodari perubahan iklim, akan tetapi hal ini saja tentu tidaklah cukup. Oleh sebab itu kita harus bisamengurangi efek dari rumah kaca agar membatasi dampak yang terjadi resiko dari dampak perubahan iklim pada saat ini akan berkaitan dengan adaptasiyang harus dilakukan sebelumnya. Peningkatan air permukaan laut akan berdampak bagimasyarakat yang tinggal di daerah pesisir dan juga bagi masyarakat yang tinggal di daerahdataran rendah di seluruh muka bumi dengan datangnya bencana banjir, erosi dari pantai danjuga perendaman, serta menghilangnya pulau-pulau kecil akibat dari pemanasan global ini pun pasti akan sangat berpengaruh bagi Negara berkepulauan. Perubahan iklim juga akanmenimbulkan efek lainnya seperti pergeseran rentan geografis dan pola migrasi spesies laut danjuga dataran. Beberapa dari spesies tersebut akan mengalami kepunahan. Pemanasan danpengasaman air laut akan menggangu kehidupan ekosistem di dalam laut, terutama padaekosistem yang berada di daerah kutup dan ekosistem yang ada di terumbu karang. Indonesiayang dikenal dengan sebutan megabiodiversity country mempunyai ekosistem yang ada didaratan dan juga lautan yang begitu lengkap. Adaptasi yang berbasis ekosistem ini menjadi salahsatu upaya untuk pengendalian dari perubahan iklim perubahan iklim akan menyebabkan sebuah resiko yang signifikan, namundengan adanya manajemen resiko yang baik maka dampak terburuk dari perubahan iklim dapat di hindari. Kombinasi antara mitigasi dan juga adaptasi akan mengurangi dari skala resikonantinya. Namun ada beberapa resiko yang tidak dapat untuk dihindari kedatangannya, sepertibanjir, kekeringan yang sangat ekstrim, badai, dan juga pemanasan. Dalam hal ini menunjukkanbahwa kita memang rentan terhadap kejadian cuaca dan iklim. Tindakan yang dibentuk sertaresiko yang kita ambil akan menentukan resiko apa yang nantinya kan kita hadapi dini lebih memungkinkan dan juga cenderung mempunyai banyak waktu untukmelakukan adaptasi dengan dampak yang kemungkinan nantinya akan terjadi. Akan tetapi kitajuga memiliki batasan-batasan untuk beradaptasi sebelumnya, beberapa resiko nantinya mungkinakan terjadi dan kita tidak bisa hanya mengandalkan dalam hal beradaptasi terus menerus. Semuamasyarakat yang ada di Indonesia baik yang tinggal di kota ataupun mereka yang tinggal didaerah pedesaan akan mengalami dampak dari perubahan kita perlumerencanakan serta adaptasi untuk membatasi resiko yang akan terjadi di waktu yang akandatang. Salah satu kajian iklim yang pernah dilakukan di daerah Indonesia yaitu kajian resikodan juga kasian adaptasi, yang bertepatan di daerah Tarakan, Sumatera Selatan dan juga di KotaMalang Batu yang dilaksanakan oleh kementerian Lingkungan Hidup pada tahun hasil dari kajian tersebut menyatakan bahwa untu daerah Tarakan mengalamikenaikan Suhu sebesar 0,63°C selama 25 tahun terakhir, untuk Provinsi Sumatera Selatan sendirimengalami kenaikan suhu juga sebesar 0,31°C di Palembang dan 0,67°C di rata-rata seluruhdaerah Sumatera Selatan. Sedangkan untuk daerah Kota Malang sendiri tren untuk kenaikansuhu mencapai angka 0,69°C. Namun pada dasarnya angka yang tertera tersebut memilikikemungkinan akan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang ada, perubahan lokal seperti adanyaefek dari pulau panas dari daerah perkotaan serta dari pergeseran iklim regional itu air laut atau yang biasa dikenal dengan sebutan sea level rise SLR terkaitdengan perubahan iklim berlangsung dengan dua mekanisme utama, yaitu dengan ekspansiterkenal karena dia menghambat dan mengalami pengembangan volume air laut, sertamencapirnya gletser dan es yang mengakibatkan tertutupnya daratan yang ada di Antartika sertayang ada di Greenland. Selain dari itu, siklus hidrologi yang ada di daratan mengakibatkanadanya keanekaragaman iklim serta diikuti dengan timbulnya faktor antropogenik yangberdampak pula pada naik dan turunya limpasan, hal inipun sangat berpengaruh terhadapberubahnya permukaan air laut. Berkaitan dengan efek dari perubahan iklim di Indonesia,Indonesia merupakan salah satu Negara yang rentan terhdapat dampak perubahan iklim. Dengan jumlah pulau yang ada sekitar pulau, sebagian besarnya ibu kota provinsi serta hamperdari 65% masyarakat Indonesia tinggal di daerah pesisir, wilayah Indonesia sangat rentanterhadap dampak dari perubahan iklim, terkhusus yang disebabkan oleh naiknya permukaan dariair laut dan terjadinya penggenagan akibat dari banjir di wilayah pesisir. Kenaikan daripermukaan air laut, selain menimbulkan dampak langsung yaitu berkurangnya wilayah akibatdari tenggelamnya daratan, juga menyebabkan rusaknya ekosistem daerah pesisir akibat darigelombang pasang, adapun efek tidak langsungnya yaitu berubahnya hilangnya serta berubahnyamata pencaharian masyarakat sekitar, terkhusus kepada masyarakat yang tinggal di daerah tepipantai, berkurangnya daerah persawahan dataran rendah di wilayah pesisir pantai yang nantinyaakan berpengaruh kepada ketahanan pangan masyarakat setempat, gangguan yang timbulakibatnya susahnya transportasi antar pulau, dan juga rusak atau hilangnya objek wisata yang adadi daerah pantai dan pulau. Selain itu dampak lain dari perubahan iklim ialah mengakibatkanpenurunan dari ketersediaan air, berubahnya produksi tanaman, serta bisa mengakibatkanhilangnya keberadaan dari keanekaragaman hayati yang merupakan aset yang tidak ternilaiharganya yang sudah dimiliki oleh Indoensia. Perubahan iklim juga akan mengakibatkan dampakpada kesehatan, kematian, pola dari migrasi, ketahanan pangan, dan juga ekosistem alami sertakesejahteraan ekonomi, baik itu di tingkatan lokal ataupun yang ada di tingkatan Adaptasi dari Perubahan IklimPerahan iklim sejatinya menjadi sebuah ancaman bagi seluruh umat manusia d mukabumi ini begitu juga dalam hal pembagunan, tidak terkecuali kepada masyarakat Indonesia. Yangpastinya akan berdampak kepada ketersediaan kebutuhan oleh masyarakat, yang mencakupkepada produksi dan distribusi bahan pangan, ketersediaan airdan juga energi. Untuk mengurangitingkatan kerentanan terhadap dampak dari perubahan iklim pada saat ini, perlu dilakukansebuah upaya guna untuk memperkokoh kapasitas dari adaptasi tersebut secara menyeluruhdengan cara pembangunan ketahanan social, ekonomi, diversifikasi dari mata pencaharian bagimasyarakat yang sekiranya tidak sensitive terhadap timbulnya perubahan iklim. Memperbaikitata ruang serta managemen dari ekosistem. Sebagaimana yang telah tertulis dalam Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, rencana dariPengelolaan Lingkungan Hidup ini harus memuat rencana dari adaptasi dan mitigasi perubahaniklim. Selain dari pada itu kajian tentang tingkat kerentaan dan juga tingkatan dari kapasitas adaptsi dari perubahn iklim adalah salah satu upaya yang sangat perlu untuk diperhatikan dalammembentuk kajian lingkungan hidup yang strategis guna untuk memastikan bahwa dari prinsippembangunan berkelanjutan yang berkaitan dengan iklim telah menjadi dasar dan terintegrasidalam pembangunan suatu wilayah dan kebijakan, serta rencana dan juga program. Program serta aksi adapatasi yang diterapkan dan juga di laksanakan di Indonesia harusmemperhatikan tingkatan serta memperhatikan juga resiko terkait dengan iklim dan jugaancaman yang kemungkinan akan kita hadapi nantinya serta pola dari kecenderungan ataupunpola dari perubahan tingkat resiko serta ancaman dimasa yang akan datang nantinya. Programserta aksi adaptasi yang sifatnya akan segera datang, diarahkan kepada daerah yang tingkatanresiko iklim dan juga pada masa depan resikonya masih terbilang tinggi atau cenderung akanmengalami peningkatan. Adapun dengan yang sifatnya terbilang untuk jangka panjang akandiarahkan kepada wilayah yang saat ini dibilang rendah dan juga dimasa depan bisa dibilangrendah juga ataupun akan mengalami peningkatan. Tahan-tahp antisipatif perlu dilakukan untukmeningkatkan ketahanan dari dalam diri masyarakat yang berkaitan dengan dampak perubahaniklim perlu untuk dikedepankan. Sehingga untuk pembangunan yang sedang dilakukan ataupunyang akan dibangun dapat terjamin proses keberlanjutannya. Untuk daerah Indonesia, kegiatanaksi adaptasinya dilakukan dengan cara integritas dengan program pembangunan, terutamakepada daerah yang teridentifikasi rentan terhadapat dampak dari perubahan iklim tersebut. 4. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Sektor PertanianDalam bidang pertanian terutama pada subsektor tanaman terkhusus pada bidang panganpalingan rentan terhadap efek dari perubahan iklim terkait terhadap tiga faktor utama, yaituterhadap faktor bio fisik, manajemen dan juga faktor genetik. Hal ini dikarenakan tanamanpangan ialah tanaman yang merupakan tanaman semusim yang keadaanya relative sangat sensitifterhadap gangguan, terutama terhadap kekurangan serta kelebihan air. Kerentaan ini sangatberhubungan kepada sistem pengunaan yang berasal dari lahan dan pengunaan tanah, teknologipada pengelolaan tanah, pola pada tanaman, air dan juga tanaman, dan juga terhadap varietastanaman. Ada tiga faktor utama yang berkaitan dengan perubahan iklim global, yaitu, 1 terjadiperubahan terhadap pola hujan 2meningkatnya kejadian iklim yang ekstrim banjir, longsor,dan kekeringan 3 terjadinya peningkatan susu udara dan juga peningkatan permukaan air laut. Perubahan pada pola hujan sudah terjadi di Indonesia sejak beberapa dekade belakanganini, seperti mundurnya musim hujan di beberapa lokasi di beberapa wilayah Indonesia, danmengalami kemajuan musim hujan di beberapa wilayah lainnya. Perubahan pada pola hujan inipun mengakibatkan menurunya ketersdian air di waduk-waduk, terutama pada wilayah pulauJawa. Contohnya seperti, selama sekitar 10 tahun terakhir rata-rata dari volume alirain air didaerah DAS Citarum yang masuk kedalam waduk mengalami penurunan dari 5,70 miliarm3/tahunnya menjadi 4,90 miliar m3 /tahun. Kondisi tersebut mengalami implikasi terhadapmenerunnya kemampuan waduk Jatiluhur yang menaliri sawah-sawah di Pantura Jawa. Kondisiyang lainnya juga di jumpai pada waduk yang berada di Jawa Tengah, yang bertepatan padaGajah Mungkur dan Kedung Ombo. Dengan kondisi perubahan terhadap curah hujan tersebut,dan jika para petani tetap mempertahankan pola bertanamannya seperti biasanya, maka pristiwaseperti gagal panen akan sering terjadi. Dengan terjadinya penurunan curah hujan dan jugaketersediaan air di waduk, maka para petani juga harus mengubah pola bertanam, dari padimenjadi tanaman non-padi. Hasil berdasarkan kepada analisis ideks perubahan iklim, yaitu suatuindeks yang bertugas untuk mengukur kejadian menyimpang terhadap iklim di masa yang akandatang nantinya dibandingkan dengan apa yang telah terjadi pada saat ini, yang telah dilakukanoleh baetting et al 2007 yang mengindikasikan bahwa nilai dari penyimpangan iklim yang adadi Indonesia akan mengalami peningkatan pada masa yang akan datang dengan jumlah angkasebesar 7 dan 8. Dari nilai tersebut menyatakan bahwa Indonesia akan mengalami peningkatansebuah frekuensi kejadian iklim yang eksterim seperti kejadian bencana banjir dan juga bencanakekeringan pada masa yang akan mendatang. Dampak dari bencana banjir dan juga kekeringanpada sawah ialah hal yang sangat merugikan bagi para petani dan juga masyarakat, karena hal ituakan mengganggu ketahanan pangan masyarakat. Jika hal ini terus terjadi maka sumber panganmasyarakat akan terganggu. Selain itu dampak dari naiknya permukaan air laut akan menggagusector pertanian yang berada di daerah pesisir, dampaknya berupa penciutan lahan pertanian didaerah Upaya untuk Menghadapi Perubahan IklimDampak dari perubahan iklim yang semakin hari semakin besar terjadi, merupakansebuah tantangan besar bagi manusia terutama bagi sektor pertanian. Peranan aktif dari berbagaikalangan sangatlah penting adanya untuk kondisi seperti ini, yaitu dengan cara mengantisipasi dampak dari perubahan iklim tersebut, bisa dilakukan dengan cara melakukan mitigasi dan jugadengan adaptasi. Upaya dari antisipasi ini bertujuan untuk mempersiapkan strategi dari mitigasidan juga dari adaptasi. Beberapa pengkajian dari dampak perubahan iklim sudah pernahdilakukan, yang pertama, sumber daya pertanian terhadap pola curah hujan dan juga musim yangberkaitan dengan sistem hidrologi dan juga dari sumber daya air, yang kedua terhadapinfrastruktur saran dan juga prasarana lahan pertanian, yang ketiga ialah system produksipertanian, dan yang keempat adalah aspek dari social-ekonomi dan juga budaya. Teknologi dariadaptasi bertujuan untuk melakukan penyesuaian diri terhadap dampak perubahan iklim yangterjadi serta mengurangi dari resiko gagalnya produksi pertanian. Teknologi dari adaptasimeliputi dari penyesuaian waktu pada saat menanam tanaman, dan juga penggunaan dari pupukunggul yang tahan terhadap kondisi kekeringan apa bila terjadi, salintis serta rendaman. Dan jugaterhadap pengembangan teknologi pengelolaan air. Dengan melakukan beberapa dari upaya yangtelah dilakukan sebelumnya, maka akan ada kemungkinan untuk mempertahankan hasil yangbagus dari hasil panen para petani. Dengan mengikuti langkah-langkah sedemikain yang telahdipaparkan resiko terjadinya kegagalan panen cenderung kecil. PenutupKesimpulanPerubahan iklim yang terjadi pada saat ini bukan lah sebuah isu ataupun sebuah hal yangjarang untuk dibicarakan. Tetapi sudah menjadi hal yang nyata adanya dan juga hal yang lumrah,maka dari itu diperlukan untuk melakukan sebuah tindakan yang nyata secara bersama padatingkatan global, regional maupun pada tingkatan nasional. Dalam menyikapi perubahan iklimtentunya kita sebagai manusia harus bisa menangani masalah ini untuk kepentingan generasi kitayang akan mendatang. Selain itu kementerian pertanian telah menysusun strategi untukmenyikapi dari fenomena perubahan iklim ini dengan memaparkan tiga aspek utama yaitu, aspekdari mitigasi, aspek dari antisipasi dan juga aspek dari adaptasi. Strategi dari aspek antisipasidilakukan dengan cara melakukan pengkajian kepada perubahan iklim yang terjadin, hal inidilakukan agar mengetahui dampak negatif apa yang terjadi terhadap sektor pertanian. Adaptasiini pun merupakan sebuah tindadakan penyesuaian sistem alam dan juga sosial guna untukmenghadapi dampak negatif yang timbul terhadap perubahan iklim. Upaya tersebut akan sangatberpengaruh dan juga bermanfaat dan juga bisa dibilang lebih efektif apabila laju dari perubahaniklim tidak melebih dari kemampuan upaya dari adapts tersebut. Oleh sebab itu, kita perlumengimbanginya dengan upaya mitigasi, yaitu dengan cara mengurangi sumber maupunpeningkatan dari penyerapan efek rumah kaca. Karena efek dari rumah kaca pun sangatberpengaruh terhadap terjadinya pemanasan global pada masa ini dan berdampak buruk nantinyabagi kehidupan mendatang. Tentunya kita sebagai generasi bangsa harus mempertahankankeanekaragaman hayati dan menjaga sumber daya yang ada pada saat ini agar generasi yangakan datang dapat menikmatinya juga. Daftar pustakaSurmaini, E., lahan Pertanian, B. B. L. S., Runtunuwu, E., & Las, I. 2015. Upaya sektorpertanian dalam menghadapi perubahan D. J. P. P. 2016. Perubahan Iklim, Perjanjian Paris dan Nationally DeterminedContributionHairiah, K., Rahayu, S., Suprayogo, D., & Prayogo, C. 2016. Perubahan iklim sebab dan dampaknya terhadap kehidupan. Bahan Ajar, 1, E., Annisa, W., & Noor, M. 2016. Teknologi Pengelolaan Lahan Rawa untukTanaman Pangan dan Hortikultura dalam Konteks Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim. JurnalSumberdaya Lahan, 102.Muhammad, S. 2016. Adaptasi Sosial Petani Tadah Hujan Terhadap Perubahan Iklim Studi Kasus Pada Petani Tadah Hujan di Kecamatan Sibulue, Kabupaten Bone. PREDESTINASI, 92, D., Arif, S. S., Susanto, S., & Sutiarso, L. 2015. Identifikasi Perubahan Iklim Berdasarkan Data Curah Hujan di Wilayah Selatan Jatiluhur Kabupaten Subang, Jawa Barat. Agritech, 351, A. B., Tiga, C. S. R., & Ambon, M. 2016. Pengaruh perubahan iklim terhadapproduksi tanaman pangan di Provinsi I. M., & As-syakur, A. R. 2018. DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAPSEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI. SOCA SOCIO-ECONOMIC OFAGRICULTURRE AND AGRIBUSINESS, I. N., & Suryanto, S. 2015. Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Produksi Pertanian Dan Strategi Adaptasi Pada Lahan Rawan Kekeringan. Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan, 161, E. 2018. Legislasi dan Perubahan Iklim. Jurnal Legislasi Indonesia, 61, Y. P., & Kusumasari, B. 2016. Strategi Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklimdi Indonesia Doctoral dissertation, Universitas Gadjah MadaCahyaningtyas, A., Azizah, N., & Herlina, N. 2019. Evaluasi dampak Perubahan IklimTerhadap Produktivitas Padi Oryza sativa L. Di Kabupaten Gresik. Jurnal ProduksiTanaman, 69.Supriadi, H. 2015. Budidaya tanaman kopi untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Perspektif, 131, 35-48. Rahman, A. 2016. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kerentanan Penghidupan Petani danPertumbuhan Sektor Pertanian Di Kabupaten Sukoharjo Doctoral dissertation, UniversitasSebelas Maret.Ruminta, R., Handoko, H., & Nurmala, T. 2018. Indikasi perubahan iklim dan dampaknyaterhadap produksi padi di Indonesia studi kasus Sumatera Selatan dan Malang Raya. JurnalAgro, 51, E. 2011. Kajian optimasi pengelolaan lahan gambut dan isu perubahan iklim. TeknoHutan Tanaman, 42, 57-68. ... Sebagai akibatnya, pada musim kemarau panjang, lahan menjadi tandus dan suhu di udara naik. Sedangkan pada musim hujan, curah hujan yang tinggi menimbulkan genangan pada lahan pertanian [1]. Musim hujan yang tinggi mengakibatkan tanaman hortikultura mudah terserang berbagai macam penyakit dan virus, akibatnya harga komoditas hortikultura naik, selain itu harga pestisida untuk mengusir hama tanaman juga menjadi naik [2]. ...Hafizh Ramli RamliLathifah AriefPlant Factory is a technology concept that facilitates the formation of an environment that is suitable and good for plant growth, easy to control, does not require a large area of land, and is applied indoors so that it is not affected by outdoor weather conditions. Therefore created a system that automatically controls and monitors environmental conditions such as temperature, humidity and light. This system uses Arduino mega 2560 as a microcontroller, DHT22 temperature and humidity sensors to assess room temperature and humidity, RTC as an indicator of plant irradiation time, a micro SD module as data storage for sensors and actuators, and a Bluetooth module as a medium for data transmission. This actuator consists of a fan to control temperature, a humidifier to control humidity and an LED as a substitute for lighting plants. There are three plants as samples for testing the Plant Factory system, namely spinach, lettuce and mustard greens with each Plant Factory system for these plants. All temperature, humidity and actuator conditions can be monitored via the Android application. The plant factory automation system with three types of vegetable plants based on microcontroller and android is successfully running according to its has not been able to resolve any references for this publication. LahanKritis - Pengertian, Penyebab, Ciri, Data Sebaran & Solusi. 4.4/5 - (49 votes) Lahan kritis adalah istilah yang digunakan untuk menyebut kondisi suatu wilayah atau lahan yang telah mengalami degradasi, sehingga kawasan tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya. Lahan yang masuk dalam kategori kritis, yaitu jika usaha untuk mengambil ArticlePDF Available Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Perspektif, Tan. Industri Vol. 19 No. 2 /Des. 2020. Hlm 105-121 DOI ISSN 1412-8004 e-ISSN 2540-8240 Kerusakan Tanah pada Lahan Perkebunan dan Strategi Pencegahan serta Penanggulangannya BARIOT HAFIF 105 KERUSAKAN TANAH PADA LAHAN PERKEBUNAN DAN STRATEGI PENCEGAHAN SERTA PENANGGULANGANNYA Soil Deterioration of Plantation Land and Strategies for Its Prevention and Handling BARIOT HAFIF Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar Indonesian Industrial and Beverage Crops Research Institute JalanRaya Pakuwon Km 2, Parungkuda, Sukabumi, Indonesia e- mail hafif_bariot ABSTRAK Tanah areal perkebunan Indonesia seluas 26,5 juta ha yang terdiri atas tanah mineral dan tanah gambut, rentan mengalami kerusakan. Penyebabnya antara lain pengelolaan tanah berlebihan, penggunaan tidak sesuai dengan kelas kesesuaian lahan, dan pengembalian hara tidak berimbang. Kerusakan tanah juga didorong oleh sifat alam seperti curah hujan tinggi, topografi berlereng dan erodibilitas tanah penulisan artikel adalah membahas berbagai indikator kerusakan tanah pada lahan perkebunandan strategi pencegahan serta penanggulangannya. Indikator penilaian kerusakan sifat fisika, kimia dan biologi tanah mineral yang relatif baru adalah sealing/crusting lapisan tanah tipis kedap air, pemadatan tanah, kandungan logam berat dan residu pestisida, dan kandungan pada tanah gambut seperti perubahan simpanan karbon, tingkat respirasi, emisi gas rumah kaca GRK, tingkat kematangan gambut, perubahan tinggi muka air, subsidensi dan kontaminasi polutan. Untuk menghindari kerusakan tanah pada lahan perkebunan, cara preventif dinilai lebih baik. Cara ini diantaranya dapat digapai dengan memaksimalkan penutupan permukaan tanah oleh kanopi. Untuk hal itu pertumbuhan tanaman harus optimal dengan menyediakan hara, air dan bahan organik yang cukup, dan memelihara stabilitas agregat dan ruang pori tanah. Cara lain adalah menerapkan pola agroforestri dan teknologi konservasi. Untuk menghindari tanah gambut dari kerusakan maka pemilihan komoditas perkebunan harus selektif diantaranya tanaman harus berkontribusi nyata dalam sekuestrasi karbon gambut, pola tataguna lahan sesuai dengan hasil penilaian kesesuaian lahan gambut, lahan merupakan kawasan budidaya, ketebalan gambut tidak >3 tiga meter, tanah gambut bukan kategori fibrik, dan tanah mineral di bawah gambut bukan pasir kuarsa dan tanah sulfat masam. Kata kunci kerusakan tanah, tanah mineral, tanah gambut, lahan perkebunan, ABSTRACT Indonesia's plantation area of million ha, consisting of mineral soils and peat soils, is vulnerable to damage. The causes include excessive soil management, land use is improper to land suitability, and imbalanced nutrient returns. Soil deterioration is also driven by natural characteristics such as rainfall, topography, and soil erodibility. The purpose of this article is to discussvarious indikators of soil deterioration on plantation land and strategies for their prevention and control. Indicators in the assessment of physical, chemical, and biological characteristics deterioration of mineral soils are relatively new, are sealing/crusting, soil compaction, the content of heavy metals, pesticide residues, and microbes. While in peat soils are deposits carbon, respiration rates, greenhouse gas GHG emissions, peat maturity, water table level, peat subsidence and pollutant contamination. Preventive measures are better to avoid damage to plantation soil. This method can be achieved, among others, by maximizing the cover of the soil surface by the canopy. For this, plant growth must be optimal by providing sufficient nutrients, water, and organic matter and maintaining the aggregates stability, and soil pore space. Another way is to apply agroforestri patterns and conservation peat soil from being damaged, plantation commodities selected should contribute significantly to the carbon sequestration of peatand land-use patterns based on peatland suitability assessment,besides the peat soils are in cultivation areas, peat soil thickness is 40%. Seperti dilaporkan Subiksa et al. 2012 sekitar 39,5 % dari total luas lahan pertaniandan lahan perkebunan, berada pada tanah berkemiringan > 15%. Tabel 1. Sebaran komoditas perkebunan pada berbagai jenis tanah di Indonesia 1 Karet, Kelapa sawit, Kopi Robusta, Kakao, Lada, Kelapa Dalam Inseptisols, Ultisol, Oksisol Taksonomi; Acrisols, Ferralsols, or Podzols FAO 2 Teh, kopi Arabika, Kina, Kayumanis 3 Kelapa Sawit, Kelapa Genjah, Kopi Liberika, Nenas, Pinang Sumber 1Susetyo and Hadi, 2012; Wigena et al., 2009; Dai et al. dan Hidayat et 2017; FKPR, Badan Litbang Pertanian, 2013, 2Sukarman dan Dariah, 2014; Fiantis, Hakim and Ranst, 2005, 3Sardjono, 2017; Hafif and Sasmita 2020 108 Volume 19 Nomor 2, Des. 2020 105-121 Review Penelitian Tanaman I ndustri Pada Tabel 1 disajikan komoditas-komoditas perkebunan dan jenis tanah untuk pengembangannya di Indonesia. Tanah mineral untuk pengembangan karet, kelapa sawit, kopi Robusta, kakao, lada merupakan tanah tingkat perkembangan sedang Inceptisols sampai lanjut Ultisols dan Oxisols Soil Survey Staff, 2014. Sedangkan tanaman teh, kopi Arabika, kina dan kayu manis kebanyakan dikembanngkan pada tanah Andisols dengan ketinggian lahan diatas 700 m dpl. Tanah Andisols merupakan tanah dengan tingkat perkembangan sedang Soil Survey Staff, 2014 yang terbentuk dari bahan gelas vulkanik/allophan. Tanah ini umumnya bertekstur debu silt sehingga peka sampai sangat peka terhadap erosi Dangler dan Swayfi dalam Dariah et al., 2004. Tanah Gambut Tanah gambut Organosol adalah suatu lahan/areal yang ditutupi oleh endapan bahan organik dengan ketebalan > 50 cm dan sebagian besar bahan belum melapuk sempurna serta kandungan C organik > 12% Subardja et al., 2014. Di Indonesia terdapat tanah gambut seluas 21 juta ha Agus dan Subiksa, 2008. Komoditas perkebunan yang secara luas memanfaatkan tanah gambut adalah kelapa sawit dengan luasan diperkirakan mencapai 1,5 juta ha Sukarman, 2014. Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan yang mampu beradaptasi baik pada tanah gambut dan bila didukung dengan pengelolaan air yang tepat dan dilakukan perbaikan stabilitas tanah gambut maka hasil kelapa sawit akan baik dan berkelanjutan Sabiham dan Sukarman, 2012. Saat ini kebanyakan tanah gambut telah mengalami kerusakan dan sekitar 25% dari total lahan gambut di Indonesia dikategorikan mengalami kerusakan berat dan menjadi isu lahan kritis Wahyunto dan Dariah, 2014; Osaki et al., 2019. Tanah gambut adalah tanah yang fragile/mudah mengalami rusak karena 1 kandungan unsur hara pada tanah gambut relatif rendah sehingga produktivitas cepat menurun, dan 2 irreversible drying sulit kembali basah bila mengalami kekeringan setelah di drainase, akibatnya terjadi subsidensi volume gambut menurun Agus dan Subiksa, 2008.Subsidensi juga bisa diakibatkan oleh proses dekomposisi, dan erosi. Isu lain yang terkait dengan kerusakan tanah gambut adalah isu lingkungan yang menganggap setiap pemanfaatan tanah gambut akan mengganggu peran tanah gambut sebagai simpanan karbon dunia dan juga memicu peningkatan emisi gas rumah kaca terutama CO2. Pada Tabel 1 disajikan beberapa jenis komoditas yang dikembangkan pada tanah Gambut yaitu kelapa sawit, kelapa genjah, kopi Liberika, nenas dan pinang. FAKTOR PENYEBAB KERUSAKAN TANAH PERKEBUNAN Kerusakan tanah pada lahan perkebunan secara umum disebabkan oleh dua faktor yaitu 1 antropogenik campur tangan manusia, dan 2 sifat-sifat alam. Faktor antropogenik adalah kerusakan tanah akibat campur tangan manusia dalam mengelola habitat, sedangkan faktor alam adalah kerusakan tanah akibat sifat-sifat alami terutama unsur-unsur, kemiringan lereng, iklim dan sifat tanah yang secara umum fragil terhadap kerusakan. Antropogenik Faktor antropogenik mempunyai efek yang sangat besar terhadap terjadinya kerusakan tanah Curebal et al., 2015. Cara penggunaan dan pengelolaan lahan yang tidak cermat dan kurang dilandasi pemahaman pentingnya tindakan konservasi tanah dan air adalah unsur utama dalam mendorong terjadinya kerusakan tanah. Bila faktor antropogenik tersebut berada di bawah sifat-sifat alam seperti sifat curah hujan yang erosive, tanah yang peka terhadap erosi erodibitas tinggi, dan lahan berada pada topografi berlereng maka potensi kerusakan tanah yang terjadi besar. Kerusakan deterioration tanah pada areal perkebunan oleh manusia didorong oleh 1 eksploitasi penggunaan tanah perkebunan yang berlebihan, seperti pemupukan yang tidak tepatdan penggunaan bahan kimia seperti pestisida dan herbisida yang melewati batas rekomendasi. Tindakan ini menyebabkan ancaman polusi, kehilangan biodiversitas dan gangguan kesehatan, 2 penyalahgunaan Kerusakan Tanah pada Lahan Perkebunan dan Strategi Pencegahan serta Penanggulangannya BARIOT HAFIF 109 tataguna lahan, seperti konversi lahan hutan dan lahan gambut ke tanaman perkebunan, 3 penggunaan lahan miring untuk perkebunan yang tidak didukung upaya konservasi tanah dan air, dan 4 tidak seimbangnya hara yang masuk dan hara yang keluar bersama hasil tanaman perkebunan, sehingga kesuburan tanah cepat menurun, dan pada akhirnya tercipta lahan-lahan kritis/rusak Verdoodt, 2012. Faktor antropogenik juga lebih berperan terhadap terjadinya kerusakan tanah gambut. Pendorong utama adalah drainase berlebihan diantaranya untuk penggunaan lahan perkebunan. Melakukan drainase secara berlebihan sehingga muka air tanah gambut rendah akanberakibat terjadinya subsidensi. Melakukan pemadatan tanah gambut untuk penggunaan perkebunan kelapa sawit adalah tindakan yang juga mendorong kerusakan tanah gambut Sari, et al., 2019. Menurut Sukarman 2014 lahan gambut mengalami kerusakan kategori terdegradasi karena mengalami penurunan fungsi hidrologi, produksi dan ekologi. Sekitar 4,4 juta ha lahan gambut di Indonesia termasuk kategori lahan gambut terdegradasi disebabkan faktor antropogenik. Aktivitas perkebunan lain yang mendorong terjadinya kerusakan tanah gambut adalah menjadikan tanah gambut dalam > 3m untuk lahan perkebunankelapa sawit dan atau mengelola lahan perkebunan pada tanah gambut kategori mentah gambut fibrik. Seperti telah diatur didalam Peraturan Menteri Pertanian No. 14/Permentan/ tanah gambut yang dapat digunakan untuk pengembangan perkebunan adalah tanah gambut area budidaya, berkedalaman 15% Subiksa et al., 2012. Erosi pada lahan berlereng merupakan penyebab utama dari kerusakan tanah seluas 48,2 juta ha atau 25,1% dari luas tanah Indonesia Wahyunto dan Dariah, 2014. Faktor alam lain adalah tanah cenderung peka terhadap erosi erodibility. Karena erosi merupakan penyebab utama kerusakan tanah mineral di Indonesia maka ditetapkan kriteria ambang batas kritis kerusakan tanah akibat erosi di dalam Peraturan Pemerintah RI No. 150 tahun 2000 KNLH, 2009. Seperti terlihat pada Tabel 2, bahwa batas kritis kerusakan tanah mineral akibat erosi untuk tanah kedalaman 0,1 ton/ha/tahun sebagai indikasi bahwa tanah bukanlah batu-batuan atau bahan induk yang proporsi terjadi erosinya sangat kecil, tetapi merupakan bahan induk yang sudah melapuk yang mengandung partikel pasir, debu dan liat. Pada tanah gambut, sifat-sifat alam lingkungan sekitarnya lebih berpengaruh terhadap sifat kimia dan fisika tanah gambut Tabel 2. Ambang kritis kerusakan tanah oleh erosi Ambang Kritis Kerusakan Akibat Erosi Sumber Peraturan Pemerintah RI No. 150 tahun 2000 KNLH, 2009 110 Volume 19 Nomor 2, Des. 2020 105-121 Review Penelitian Tanaman I ndustri seperti sifat kimia tanah gambut terkait tingkat kesuburan yaitu eutrophic kesuburan tinggi, mesotrophic kesuburan sedang dan oligorophic Kesuburan rendah Andriesse dalam Pandjaitan and Hardjoamidjojo, 1999.Namun curah hujan dengan energi kinetiknya yang menimbulkan erosi juga mendorong kerusakan tanah gambut,khususnya pada tanah gambut terbuka dengankemiringan landai Li et al., 2018. INDIKATOR KERUSAKAN TANAHLAHAN PERKEBUNAN Secara umum indikator kerusakan tanah perkebunan adalah sejalan dengan indikator kerusakan tanah lahan pertanian lainnya. Untuk tanah mineral terindikasi dari kerusakan sifat fisika, sifat kimia, dan sifat biologi tanah dan demikian juga untuk tanah gambut. Indikator Kerusakan Tanah Mineral Beberapa indikator terjadinya kerusakan tanah lahan perkebunan antara lain; kehilangan tanah olah oleh erosi, terjadi degradasi kimia mencakup penurunan kandungan hara, degradasi fisika seperti pemadatan tanah, terjadi salinisasi atau sodifikasi, dan degradasi biologi penurunan kandungan mikroba tanah FAO, 2003. Secara lebih rinci kerusakan-kerusakan tanah mineral lahan perkebunan dapat dipilah sebagai berikut a. Kerusakan sifat fisika tanah Sifat fisika tanah sangat penting artinya baik dalam kaitannya dengan fungsi tanah sebagai media tumbuh, maupun untuk keselamatan ekologi. Kerusakan fisika tanah seperti pembentukan sealing/crusting lapisan tanah tipis 1 - 5 mm pada permukaan tanah yang kedap air dan tidak berpori, mengakibatkan kapasitas infiltrasi tanah rendah. Lapisan ini terbentuk oleh daya dispersi butir hujan yang merusak struktur tanah pada kondisi tanah terbuka menjadi butiran halus, ditambah oleh hilangnya bahan organik tanah sebagai pembentuk ruang pori pada tanah oleh erosi Verdoodt, 2012. Bila lapisan tipis ini ditemukan pada permukaan tanah mineral akan mengganggu kemampuan tanah dalam melalukan air ke lapisan tanah bawah infiltrasi, sehingga volume aliran permukaan meningkat dan daya simpan air tanah menurun. Lapisan ini tidak hanya meningkatkan bahaya erosi dalam merusak tanah, tetapi juga membahayakan kelangsungan hidup tanaman perkebunan akibat rendahnya kadar air tersedia di dalam tanah. Kerusakan tanah dengan terjadinya pemadatan tanah, terindikasi dari meningkatnya BD bulk density dan menurunnya total ruang pori tanah. Istilah kerapatan pamadatan tanah soil packing density PD digunakan untuk menentukan tingkat potensi pemadatan tanah atau kerentanan tanah mineral untuk memadat Verdoodt, 2012. Nilai PD Tabel 3 berdasarkan besaran BD terukur yaitu PD= BD + 0,009C, dan C adalah kandungan liat % w/w. Faktor yang berpengaruh terhadap pemadatan tanah adalah kandungan bahan organik BO dan air. Semakin rendah kandungan BO tanah, semakin rentan tanah terhadap pemadatan. Pemadatan yang menaikkan nilai PD tanah sampai >1,75 g/cc akan memiliki pori aerasi 0,1 mm Tabel 8Boelter, 1968. Informasi terkait prosentase kandungan serat fibrik, hemik dan saprik dapat memberi banyak pemahaman terkait kerusakan dan potensi gambut sebagai media tumbuh dan penyelamatan ekosistem. Dengan mengetahui kandungan serat gambut, status kerusakan tanah gambut dapat diinterpretasi. Pada Tabel 9 disajikan hubungan serat dengan sifat-sifat gambut diantaranya terlihat semakin halus serat, semakin tinggi BD gambut, dan semakin tidak porus gambut, namun daya simpan dan pegang air cenderung meningkat dan konduktivitas eliktrik menurun. Kerusakan tanah gambut lahan perkebunan juga dapat dikenal dari perubahan sifat kimia khususnya penurunan kandungan karbon dan perubahan C/N rasio pada tanah gambut Sienkiewicz et al., 2019; Leifeld, et al., 2020, menurunnya tingkat kesuburan dan meningkatnya emisi gas rumah kaca CO2 dari tanah gambut Krüger et al., 2015. Terjadinya erosi baik pada permukaan erosi rill dan erosi Tabel 8. Klasifikasi gambut berdasarkan porsi dari serat ukuran > 0,1 mm di dalam gambut Porsi dari masa serat > 0,1 mm di dalam gambut Saprik Pelapukan tinggi Sepertiga sampai duapertiga Fiberik pelapukan rendah Tabel 9. Sifat-sifat fisika penting dari gambut kategori fibrik, hemik dan saprik Daya pegang air 0,1 bar H2O % Konduktivitas hidroulik 10-5 cm/dt * Jumlah air keluar dari gambut bila muka air tanah turun Sumber Boelter, 1968 114 Volume 19 Nomor 2, Des. 2020 105-121 Review Penelitian Tanaman I ndustri parit terjadi pada lahan gambut berkemiringan landai dan atau erosi dibawah permukaan tanah gambut banyak terjadi pada gambut lumut juga indikator dari terjadinya kerusakan tanah gambutLi et al., 2018. Tingkat gangguan/kerusakan dari tanah gambut juga dapat diinterpretasi dari keragaan teknologi pengelolaan yang telah dilakukan antara lain adanya saluran/parit drainase, terindikasi adanya penebangan pohon, ditemukan jalan logging, terdapat bekas pembakaran, tanah gambut terlihat kering/tidak tergenang dan ditemukannya bekas ditambang Sukarman, 2014. Indikator dari keragaan lahan gambut tersebut semuanya akan berpengaruh terhadap ketersediaan hara, dekomposisi dan emisi CO2 dan GRK lainnya, sifat hidrologi, subsidensi, sifat redoks dan stok karbon gambut. PROSES KERUSAKAN TANAH Alur kerusakan tanah akibat antropogenik dan sifat alam disajikan pada Gambar 1 Lal, 2015. Kedua faktor penyebab kerusakan tanah tersebut baik secara sendiri-sendiri atau dalam kombinasi merusak sifat fisika, kimia, biologi dan juga ekologi tanah mineral dan tanah gambut. Kerusakan ekologi tanah oleh antropogenik dan sifat alam adalah terhadap fungsi tanah dalam siklus hara dan hidrologi, produksi biomassa, penyimpan karbon, efisiensi input dan fungsi denaturasi polutan Lal, 2015. Faktor antropogenik dan sifat alam secara bersama berkontribusi terhadap kerusakan tanah baik dalam fungsi tanah sebagai media tumbuh atau dalam fungsinya untuk penyelamatan ekosistem. Kerusakan ekologi akibat faktor antropogenik dan alami dikelompokkan Keterangan *Lapisan tanah tipis 1-5 mm dipermukaan tanah yang kedap air permeabilitas dan pori rendah, sehingga resapan air kapasitas infiltrasi ke dalam tanah menurun - KTK = kapasitas tukar kation, RK = rumah kaca Gambar 1. Proses pengrusakan sifat fisika, kimia, biologi tanah dan ekologi oleh faktor antropogenik dan alami Lal, 2015 Kerusakan Tanah pada Lahan Perkebunan dan Strategi Pencegahan serta Penanggulangannya BARIOT HAFIF 115 tersendiri Gambar 1 Lal, 2015, hanya untuk menekankan bahwa selain kerusakan fisika, kimia dan biologi tanah, ada kerusakan lain yang berhubungan dengan kerusakan sifat-sifat tanah tersebut yaitu fungsi ekologi tanah. Kerusakan sifat fisika tanah akibat sealing crusting, pemadatan dan run off adalah juga indikasi terjadinya kerusakan fungsi ekologi tanah sebagai media siklus hara, siklus air dan produksi biomassa, sebagaimana hilangnya solum tanah, suhu tanah meningkat karena kandungan bahan organik rendah, dan aerasi tanah terhambat. Demikian pula kerusakan sifat kimia tanah seperti terjadinya asidifikasi, salinisasi, deplesi kapasitas tukar kation KTK dan hara, dan pencucian adalah pengrusakan fungsi tanah sebagai media tumbuh, namun juga erat hubungannya dengan kerusakan fungsi ekologi tanah untuk purifikasi dan regulasi air, penyimpan karbon dan denaturasi polutan. Pengrusakan sifat biologi tanah seperti hilangnya biodiversitas tanah, adanya patogen tanah dan menurunnya bahan organik adalah indikasi dari penurunan kesuburan tanah fungsi tanah sebagai media tumbuh, sementara emisi GRK dan hilangnya simpanan C merupakan kerusakan fungsi ekologi tanah untuk denaturasi polutan dan mitigasi perubahan iklim. KRITERIA BAKU PENILAIAN KERUSAKAN TANAH Kriteria baku penilaian kerusakan tanah yang dimaksud adalah sifat-sifat tanah mineral dan gambut yang sudah dijadikan batasan dalam penetapan suatu tanah tergolong rusak, berpotensi rusak atau tidak rusak. KNLH 2009, telah merilis suatu buku pedoman teknis penilaian kerusakan tanah untuk produksi biomassa. Bila diantara sifat-sifat dasar tanah tersebut telah melampaui batas baku kerusakan, maka fungsinya sebagai media tumbuh dan produksi biomassa dan dalam penyelamatan ekosistem akan menurun. Di dalam bukupedoman teknis tersebut penilaian kerusakan tanah diantaranya dibatasi oleh kriteria baku kerusakan pada tanah mineral/lahan kering Tabel 11 dan kriteria baku kerusakan sifat-sifat tanah lahan basah/gambut Tabel 12. Pedoman teknis penilaian kerusakan tanah tersebut, sepertinya masih dapat disempurnakan sesuai dengan peruntukan penggunaan tanah/lahan ke depan, sebagaimana penilaian tingkat kerusakan tanah pada lahan perkebunan. Untuk penilaian kerusakan tanah mineral pada lahan perkebunan, maka kriteria baku penilaian kerusakan tanah Tabel 11 dapat ditambahkan dengan beberapa parameter penilaian lainnya seperti observasi keberadaan crusting/sealing lapisan tipis kedap air, yang sifatnya berbeda dengan parameter permeabilitas kecepatan rembesan air dalam keadaan jenuh air, kandungan karbon C-organik yang tidak hanya dilihat dari fungsi tanah untuk media tanam tetapi juga dalam fungsinya sebagai media simpanan C dunia, kandungan logam berat khusunya pada areal perkebunan di lahan bekas tambang dan kandungan residu pestisida. Demikian juga untuk lahan perkebunan pada tanah gambut/lahan basah, kriteria baku Tabel 11. Kriteria baku penilaian kerusakan tanah mineral Komposisi fraksi kasar/pasir % 80% pasir kwarsa Sumber KNLH, 2009 Tabel 12. Kriteria baku penilaian kerusakan tanah gambut/lahan basah Subsidensi gambut ketebalan >3 m Subsidensi gambut ketebalan 3 m, dan tinggi serta lama genangan tidak sesuai jika genangan > 50 cm dan lama genangan > 14 hari Ritung et al. dalam Sukarman, 2015. Peraturan Menteri Pertanian No. 14 tahun 2009 juga telah memberi petunjuk tentang pemanfaatan tanah gambut untuk budidaya yaitu a tanah gambut yang telah ditetapkan sebagai lahan masyarakat/kawasan budidaya, b mempunyai ketebalan kurang dari 3 tiga meter, c substratum tanah mineral dan di bawah gambut bukan pasir kuarsa dan bukan tanah sulfat masam; d gambut mempunyai tingkat kematangan saprik matang atau hemik setengah matang; dan e kesuburan tanah gambut tergolong eutropik. Begitu pentingnya dalam menjaga kelestarian lahan gambut bukan hanya untuk kepentingan nasional tetapi juga global maka Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2019 yaitu Tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Amanat dalan Inpres ini antara lain menghentikan pemberian izin baru untuk penggunaan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. KESIMPULAN Kerusakan tanah yaitu berubahnya sifat-sifat dasar tanah sehingga melampaui kriteria baku untuk kebutuhan pertumbuhan tanaman menghasilkan biomassa, luasannya akan terus bertambah setiap tahun. Di Indonesia luas tanah yang mengalami proses kerusakan degradasi pada tahun 2008 mencapai luasan 77,8 juta ha dan mencapai level kritis/rusak sekitar 14 juta ha. Tanah lahan perkebunan di Indonesia rentan mengalami kerusakan baik tanah mineral maupun tanah penyebab kerusakan utama adalah antropogenik dan sifat tanah lahan perkebunan terhindar dari kerusakan maka perlu mengenal berbagai indikator kerusakan dan dampaknya terhadap pertumbuhan tanaman serta lingkungan. Indikator kerusakan dapat dikenal dengan mengetahui perubahan sifat fisika, kimia dan 118 Volume 19 Nomor 2, Des. 2020 105-121 Review Penelitian Tanaman I ndustri biologi tanah. Berbagai indikatorbaru kerusakan tanah tersebut terus bermunculan sesuai dengan perkembangan ilmu pada tanah mineral ditemukannya crusting/sealing pada permukaan tanah, indikasi sifat pemadatan tanah, kandungan logam berat dan residu pestisida, dan kandungan mikroba. Sedangkan pada tanah gambut seperti perubahan simpanan karbon, tingkat respirasi, emisi gas rumah kaca GRK, perubahan tinggi muka air, subsidensi, tingkat kematangan gambut dan kontaminasi polutan. Pengenalan berbagai indikator kerusakan tanah tersebut bermanfaat untuk perbaikan kriteria baku dalam penilaian kerusakan tanah Dalam menjaga kelestarian sumberdaya lahan termasuk tanah padalahan perkebunan, banyak kendala yang sulit diatasi oleh kebanyakan petani, diantaranya keterbatasan modal sehingga tingkat investasi mereka dalam upaya konservasi tanah lahan perkebunan dari kerusakan adalah rendah. Namun bagaimanapun langkah preventif untuk menghindari terjadinya kerusakan adalah lebih baik dibanding langkah perbaikan tanah yang sudah rusak karena akan memakan waktu dan biaya perbaikan yang banyak. Seperti dikemukan Dirjen PDASHL Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk merehabilitasi tanah kritis/rusak seluas 14 juta ha memerlukan waktu 48 tahun. Strategi untuk melindungi tanah lahan perkebunan dari kerusakan antara lain dengan mengoptimalkan pertumbuhan tanaman perkebunan, menjaga penutupan kanopi, mengadopsi pola agroforestri, dan selalu menjaga kualitas tanah dengan bahan pembenah. Kerusakan tanah gambut lahan perkebunan dapat dihindari dengan penggunaan lahan berpedoman pada hasil penilaian kesesuaian lahan gambut, dan pemilihan komoditas yang ramah lingkungan. Kerusakan tanah lahan perkebunan juga dapat dihindari bila terus memberi pemahaman yang mendalam tentang bagaimana proses terjadinya kerusakan tanah dan dampaknya terhadap fungsi tanah sebagai media tumbuh dan dalam menjaga ekosistem kepada petani perkebunan, penyuluh dan pengambil kebijakan baik di daerah dan di pusat. Memperbaiki kehidupan petani perkebunan, di antaranya dengan memberi kemudahan dalam mendapatkan modal melalui KUR, adanya asuransi, subsidi pupuk dan sebagainya, juga akan berdampak positif dalam melindungi tanah dari kerusakan. DAFTAR PUSTAKA Adimihardja, A. 2008 Teknologi dan strategi konservasi tanah dalam kerangka revitalisasi pertanian 1’, Pengembangan Inovasi Pertanian, 12, pp. 105–124. Agus, F. and Subiksa, I. G. M. 2008 Lahan Gambut Lahan Gambut Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Bogor Balai Penelitian Tanah, ICRAF. Atmojo, S. W. 2006 Degradasi lahan & ancaman bagi pertanian’, Solo Pos. Badan Pusat Statistik, _ 2018 Statistik Indonesia 2018. Jakarta. Boelter, D. 1968 Important Physical Properties of Peat Materials’, in The 3rd International Peat Congress. Dep. of Energy, Mines and Resources, Ottawa Canada, p. 154. Cayuela, M. L., Jeffery, S. and Zwieten, L. Van 2015 The molar H Corg ratio of biochar is a key factor in mitigating N 2 O emissions from soil’, Agriculture, Ecosystems and Environment’, 202, pp. 135–138. doi Costantini, E. A. C. et al. 2016 Soil indicators to assess the effectiveness of restoration strategies in dryland ecosystems’, Solid Earth, 7, pp. 397–414. doi Curebal, I., Efe, R., Soykan, A., and Sonmez, S. 2015 Impacts of anthropogenic factors on land degradation during the anthropocene in Turkey’, Journal of Environmental Biology, 36January, pp. 51–58. Dariah, A., Subagyo, H., Tafakresnanto, C., dan Marwanto, S 2004 Kepekaan Tanah Terhadap Erosi’, in Konservasi Tanah Pada Lahan Kering Berlereng, pp. 7–19. Eickenscheidt, T., Heinichen, J. and Drösler, M. 2015 The greenhouse gas balance of a drained fen peatland is mainly controlled by land-use rather than soil organic carbon content’, Biogeosciences, 12, pp. Kerusakan Tanah pada Lahan Perkebunan dan Strategi Pencegahan serta Penanggulangannya BARIOT HAFIF 119 5161–5184. doi FAO 2003 Data sets, indicators and methods to assess land degradation in drylands. Roma Italy. FAO 2015 Global soil status, processes and trends, Status of the World’s Soil Resources. Fiantis, D., Hakim, N. and Ranst, E. Van 2005 Properties and Utilisation of Andisols in Indonesia’, JIFS, 2January, pp. 29–37. FKPR, Badan Litbang Pertanian, T. K. 2013 Kunjungan Kerja Tematik dan Penyusunan Model Percepatan Pembangunan Pertanian Berbasis Inovasi Di Lahan Sub Optimal Kabupaten Lampung Barat. Jakarta. Hafif, B. Hikmatullah, Rachman, A., dan Sukmana, S. 1997 Penilaian Degradasi Tanah dengan Metode ASSOD yang Dimodifikasi, Sudi Kasus Kabupaten Ngada dan Manggarai, Flores’, in Kurnia, U. et al. eds Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor, pp. 1–21 Hafif, B. 2017 Analisis Agroekologi dan Kebutuhan Irigasi Suplemen untuk Tanaman kakao di Provinsi Lampung’, Tanaman Industri dan Penyegar, 41, pp. 1–12. Hafif, B. 2019 Peduli Konservasi Tanah dan Air Tinggal Slogan? Studi Kasus Lahan Perkebunan Rakyat’, Perspekti, 181, pp. 1–15. Hafif, B. and Sasmita, K. 2020 The organic carbon dynamics of peat soil under liberica coffee cultivation’, in 1st International Conference on Sustainable Plantation 1st ICSP 2019, pp. 4–10. doi Hobbs, P. . 2007 Conservation agriculture what is it and why is it important for future sustainable food production ?’, Journal ofAgricultural Science 2007, 145, pp. 127–137. doi Jeffery, S., Verheijen, Kammann, C., and Abalos, D. 2016 Biochar effects on methane emissions from soils A meta-analysis’, Soil Biology and Biochemistry, 101, pp. 251–258. doi Karlen, D. L. and Rice, C. W. 2015 Soil Degradation Will Humankind Ever Learn ?’, Sustainability, 7, pp. 12490–12501. doi Kauffman, S., Sombroek, W. and Mantell, S. 1998 Soils of rainforests Characterization and major constraints of dominant forest soils in the humid tropics’, in Schulte, A. and Ruhiyat, D. eds Soils of Tropical Forest Ecosystems Characteristics, Ecology and Management, pp. 9–20. doi KNLH 2009 Pedoman Teknis Penyusunan Peta Status Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa. Pertama. Edited by M. Hikmat et al. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Krüger, J. P. et al. 2015 Biogeochemical indicators of peatland degradation - A case study of a temperate bog in northern Germany’, Biogeosciences, 1210, pp. 2861–2871. doi Kurnia, U., Sutrisno, N. and Sungkawa, I. 2010 Perkembangan lahan kritis Dalam Membalik Kecenderungan Degradasi Sumberdaya Lahan’, in. IPB PRESS, pp. 145–160. Lal, R. 1997 Degradation and resilience of soils’, Philosophical Transactions of The Royal Society B Biological Sciences , 352, pp. 997–1010. doi Lal, R. 2015 Restoring Soil Quality to Mitigate Soil Degradation’, Sustainability, 7, pp. 5875–5895. doi Leifeld, J., Klein, K. and Wüst-Galley, C. 2020 Soil organic matter stoichiometry as indicator for peatland degradation’, Scientific Reports, 101, pp. 1–9. doi Li, C. Grayson, R., Holden, J., and Li, P.. 2018 Erosion in peatlands Recent research progress and future directions’, Earth-Science Reviews, 185 August, pp. 870–886. doi Liniger, H., van Lynden, G., Nachtergaele, F., Schwilch, G., and Biancalani, R. 2013 Questionnaire for Mapping Land 120 Volume 19 Nomor 2, Des. 2020 105-121 Review Penelitian Tanaman I ndustri Degradation and Sustainable Land Management QM, Lada. Ministry of Environment, I. R. 2010 Indonesia second national communication under the United Nations Framework Convention on Climate Change UNFCCC. Summary for policy makers. Mulyani, A., Rachman, A. and Dariah, A. 2009 Penyebaran Lahan Masam, Potensi dan Ketersediaanya untuk Pengembangan Pertanian’, in Fosfat Alam. Balai Penelitian Tanah, p. 32. Oldeman, L. R. 1992 Global Extent of Soil Degradation’, pp. 19–36. Osaki, M. Kato, T., Juslianto, A., and Foead, N. 2019 Concept Note on" Responsible Management of Tropical Peatland ". Madrid. Page, S. E. Bank, Rieley, and Wust, R. 2006 Extent, significance and vulnerability of the tropical peatland carbon pool past , present and future prospects, Tropical Peatlands. Pandjaitan, N. dan Hardjoamidjojo, S. 1999 Kajian Sifat Fisik Lahan Gambut dalam Hubungan dengan Drainase untuk Lahan Pertanian’, Jurnal Keteknikan Pertanian, 133, pp. 87–96. Reddy, K Raja and Hodges, H. 2000 Climate Change and Global Crop Productivity’, in Reddy, and Hodges, H. eds Biologia Plantarum . ©CAB International 2000, pp. 1–6. doi Sabiham, S. and Sukarman 2012 Pengolahan Lahan Gambut Untuk Pengembangan Kelapa Sawit di Indonesia’, Sumberdaya Lahan, 62, pp. 55–66. Sardjono, M. 2017 Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit Fakta dan Peran Penting Kelapa Sawit’. Solo. Sari, D. A. P., Falatehan, A. F. and Ramadhonah, R. Y. 2019 The social and economic impacts of peat Land palm oil plantation in Indonesia’, Journal of Physics Conference Series, 13641. doi Sienkiewicz, J. Porębska, G., Ostrowska, A., and Gozdowski, D. 2019 Indicators of peat soil degradation in the Biebrza valley, Poland’, Ochrona Srodowiska i Zasobow Naturalnych, 302, pp. 41–51. doi Sims, G. K. 1990 Biological Degradation of Soil’. Singh, B. P., Cowie, A. L. and Smernik, R. J. 2012 Biochar Carbon Stability in a Clayey Soil As a Function of Feedstock and Pyrolysis Temperature’, Environmental Science & Technology, 46, pp. 11770–11778. Sofiyuddin, M., Jasnari, J. and Khususiyah, N. 2020 Coffee-based Agroforestry as an Alternative to Improve Local Livelihoods in Peat Landscapes of Sumatra Coffee-based Agroforestry Conclusion and Recomendation. Available at Soil Survey Staff 2014 Keys to soil taxonomy, Soil Conservation Service. Available at Subardja, D. Ritung, S., Anda, M, Sukarman, Suryani, E., dan Subandiono, 2014 Petunjuk Teknis Klasifikasi Tanah Nasional. 1/2014. Edited by Hikmatullah et al. Bogor BBSDLP. Subiksa, I., Sukarman and Dariah, A. 2012 Prioritisasi Pemanfaatan Lahan Kering untuk Pengembangan Tanaman Pangan’, in Prospek Pertanian Lahan Kering Dalam Mendukung Ketahanan Pangan, p. 394. Sukarman 2014 Pembentukan, Sebaran dan Kesesuaian Lahan Gambut Indonesia’, in Nurida, N. L. and Wihardjaka, A. eds Panduan Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi. 1st edn. Bogor, pp. 2–15. Sukarman and Dariah, A. 2014 Tanah Andosol di Indonesia. Edited by M. Anda, Hikmatullah, and Y. Sulaeman. Bogor BBSDLP. Sunarti 2009 Perencanaan Usahatani Karet dan Kelapa Sawit Berkelanjutan di DAS Batang Pelepat Kabupaten Bungo Provinsi Jambi. Susetyo, I. and Hadi, H. 2012 Pemodelan Produksi Tanaman Karet Berdasarkan Potensi Klon, Tanah, dan Iklim’, Jurnal Penelitian Karet, 301, p. 23. doi Sutrisno, N. and Heryani, N. 2013 Teknologi Kerusakan Tanah pada Lahan Perkebunan dan Strategi Pencegahan serta Penanggulangannya BARIOT HAFIF 121 Konservasi Tanah dan Air untuk Mencegah Degradasi Lahan Berlerreng’, J. Litbang Pertanian, 322, pp. 122–130. Verdoodt, A. 2012 Soil Degradation. Universiteit Gent, Faculty of Bioscience Engeneering, International Centre for Eremology. Wahyunto and Dariah, A. 2014 Degradasi Lahan di Indonesia Kondisi Existing , Karakteristik, dan Penyeragaman Definisi Mendukung Gerakan Menuju Satu Peta’, Sumberdaya Lahan, 82, pp. 81–93. Wang, D. Fonte, Parikh, Six, J., and Scow, Biochar additions can enhance soil structure and the physical stabilization of C in aggregates Daoyuan’, Geoderma, 303, pp. 110–117. doi Wigena, Andriati. 2013 Evaluasi Kesesuaian Lahan Mineral dan Gambut untuk Peremajaan Tanaman Kelapa Sawit Studi Kasus pada Beberapa Kebun Plasma di Provinsi Riau’, Jurnal Sumberdaya Lahan, 72, pp. 77–95. Wigena, Sudradjat, Sitorus, dan Siregar H. 2009 Karakterisasi Tanah dan Iklim serta Kesesuaiannya untuk Kebun Kelapa Sawit Plasma’, Jurnal Tanah dan Iklim, 30, pp. 1–16. ... Penurunan kualitas tanah akibat pencemaran lahan ini sulit dihindari karena begitu banyak faktor lingkungan yang berpengaruh secara aktif terhadap perubahan penampakan permukaan bumi. Sejauh ini 85% wilayah permukaan bumi dipengaruhi oleh aktivitas manusia Hafif 2020. Penurunan kualitas tanah banyak terjadi karena adanya pencemaran limbah dari aktivitas manusia yang membuang limbah tanpa melalui tahap pengolahan limbah. ...Used oil waste contains the accumulation of metals in soil which causes a decrease in soil quality and could be pollutant that can poison the soil with the result that can affect the environment. Sengon Falcataria mollucana seedlings, cow manure and cocopeat are materials used to improve soil that has been contaminated with used oil. This study aims to analyze the effect of cow manure and cocopeat on the growth of the seedlings with an optimal dosage. The results showed that the application of cow manure and cocopeat increased the growth of seedlings and improved soil fertility that was contaminated with used oil. The application of cow manure had a significant effect on height, diameter, total wet weight, total dry weight, and root length. The S2C4 treatment 60 g of cow manure + 100 g of cocopeat gave optimal results on diameter and total dry weight, S3C4 90 g cow manure + 100 g cocopeat on root length, S2C0 60 g of cow manure for shoot root ratio, S3C0 treatment 90 g of cow manure for total wet weight, S1C2 cow manure 30 g and cocopeat 50 g for seed height. Keywords cocopeat, cow manure, Falcataria mollucana, used oil waste Jadwiga SienkiewiczGrażyna PorębskaApolonia OstrowskaDariusz GozdowskiPeat mineralisation leads to net loss of CO2 to the atmosphere, as well as to release of other elements from the decomposed soil organic matter SOM to groundwater. This results in the degradation of peat soils and the ecosystems they support. Here we evaluated the practical indicatory suitability of the existing and proposed new indices for the assessment of peat soil degradation in the Biebrza river valley encompassing, unique on European scale, peatland ecosystems. We studied relationships between soil organic carbon SOC and total nitrogen Ntot, dissolved organic carbon DOC and dissolved organic nitrogen DON in a series of degraded peat soils in the Biebrza valley. Samples were taken from soils developed on peat deposits that varied in thickness and the degree of peat decomposition, from undegraded to highly mineralised peats. The relationships between changes in the SOC content and changes in the values of the remaining variables SOM, Ntot, DOC, DON, C/N ratio, were statistically tested. Linear and non-linear regressions were used to establish the relationships amongst the variables examined. The losses of soil C and N occur independently and differ between stages of peat soil mineralisation. From our study, it results that the peat mineralisation intensity may be estimated based on the loss of SOC. We found that 1% loss of SOC corresponded to loss of SOM, regardless of the degree of peat soil mineralisation, whereas SOM solubility, measured by the content of DOC, varied based on the intensity of peat soil mineralisation. The content of DOC decreased with the decrease in the SOC content, whereas the DOC/ SOC ratio increased depending on the intensity of peat decomposition. The C/N ratio is not a reliable indicator of peat mineralisation, because its values are driven not only by the nitrogen natively present in peat soils but also by nitrogen from external sources. The contents of SOC and Ntot did not decrease uniformly during peat decomposition because C and N show various mobility in the processes of SOM mineralisation. We found that the DOC/SOC ratio was most indicative of peat soil mineralisation intensity. © IOŚ-PIBPeatlands accumulate organic matter OM under anaerobic conditions. After drainage for forestry or agriculture, microbial respiration and peat oxidation induce OM losses and change the stoichiometry of the remaining organic material. Here, we i evaluate whether land use cropland CL, grassland GL, forest FL, natural peatland NL is associated with different peat stoichiometry, ii study how peat stoichiometry changes with OM content and iii infer the fate of nitrogen upon soil degradation. Organic C and soil N were measured for 1310 samples from 48 sites in Switzerland, and H and O for 1165. The soil OM content and C/N ratio were most sensitive to land use and are hence best suited as indicators for peatland degradation. OM contents CL 10 years mature productive plants. Each observation consisted of 16 trees. The results showed that the average CO2 emissions from the peat cultivated Liberica coffee around Mg CO2/ha/year, while it from peat soil under natural forests were reported to be 20-40 Mg CO2/ha/year. The litters of the productive Liberica coffee trees return organic C to the peat about to Mg/ha/year. Compost of Mg/ha of Liberica coffee cherries cascara and parchment, applied by farmers as a fertilizer also returned Mg/ha/year of organic C, while the number of organic C carried by Mg/ha/year of the Liberica coffee green beans was only 825 kg/ha/year, approximately. This study showed that the Liberika coffee cultivation on peat soil is a safe way to conserve C in peat area of peatland in Indonesia reaches 13 million hectares, around million hectares, used for plantations. Around 700 to 800 thousand ha are used for oil palm plantations, with a productivity of 20-25 tons / ha / year, this value is no less than that of other types of land. The purpose of this study was to analyze the social and economic impacts of oil palm plantation development, analyze the financial feasibility of cultivation on peat and non-peat lands and analyze the sustainable management model of oil palm plantations. The results of this study, the development of oil palm plantations has a positive impact on economic and social conditions. Social problems arose between the company and the community in the management of oil palm plantations when the government issued a moratorium on permits for the opening of oil palm plantations on peatland due to fire. The exploitation of oil palm on peatlands has lower benefits compared to mineral land. Management of oil palm plantations can be carried out on peatlands, but it is necessary to consider water regulation so that oil palm plantations are sustainable on peatland because peatlands are easily damaged organic soils are considered to be hotspots for greenhouse gas GHG emissions. Arable lands and intensively used grasslands, in particular, have been regarded as the main producers of carbon dioxide CO2 and nitrous oxide N2O. However, GHG balances of former peatlands and associated organic soils not considered to be peatland according to the definition of the Intergovernmental Panel on Climate Change IPCC have not been investigated so far. Therefore, our study addressed the question to what extent the soil organic carbon SOC content affects the GHG release of drained organic soils under two different land-use types arable land and intensively used grassland. Both land-use types were established on a Mollic Gleysol labeled Cmedium as well as on a Sapric Histosol labeled Chigh. The two soil types differed significantly in their SOC contents in the topsoil Cmedium % SOC; Chigh % SOC. We determined GHG fluxes over a period of 1 or 2 years in case of N2O or methane CH4 and CO2, respectively. The daily and annual net ecosystem exchange NEE of CO2 was determined by measuring NEE and the ecosystem respiration RECO with the closed dynamic chamber technique and by modeling the RECO and the gross primary production GPP. N2O and CH4 were measured with the static closed chamber technique. Estimated NEE of CO2 differed significantly between the two land-use types, with lower NEE values −6 to 1707 g CO2-C m−2 yr−1 at the arable sites and higher values 1354 to 1823 g CO2-C m−2 yr−1 at the grassland sites. No effect on NEE was found regarding the SOC content. Significantly higher annual N2O exchange rates were observed at the arable sites g N m−2 yr−1 than at the grassland sites g N m−2 yr−1. Furthermore, N2O fluxes from the Chigh sites significantly exceeded those of the Cmedium sites. CH4 fluxes were found to be close to zero at all plots. Estimated global warming potential, calculated for a time horizon of 100 years GWP100 revealed a very high release of GHGs from all plots ranging from 1837 to 7095 g CO2 eq. m−2 yr−1. Calculated global warming potential GWP values did not differ between soil types and partly exceeded the IPCC default emission factors of the Tier 1 approach by far. However, despite being subject to high uncertainties, the results clearly highlight the importance of adjusting the IPCC guidelines for organic soils not falling under the definition in order to avoid a significant underestimation of GHG emissions in the corresponding sectors of the national climate reporting. Furthermore, the present results revealed that mainly the type of land-use, including the management type, and not the SOC content is responsible for the height of GHG exchange from intensive farming on drained organic CH4 emissions have increased by more than 150% since 1750, with agriculture being the major source. Further increases are predicted as permafrost regions start thawing, and rice and ruminant animal production expand. Biochar is posited to increase crop productivity while mitigating climate change by sequestering carbon in soils and by influencing greenhouse gas fluxes. There is a growing understanding of biochar effects on carbon dioxide and nitrous oxide fluxes from soil. However, little is known regarding the effects on net methane exchange, with single studies often reporting contradictory results. Here we aim to reconcile the disparate effects of biochar application to soil in agricultural systems on CH4 fluxes into a single interpretive framework by quantitative indicators may be used for assessing both land suitability for restoration and the effectiveness of restoration strategies in restoring ecosystem functioning and services. In this review paper, several soil indicators, which can be used to assess the effectiveness of ecological restoration strategies in dryland ecosystems at different spatial and temporal scales, are discussed. The selected indicators represent the different viewpoints of pedology, ecology, hydrology, and land management. Two overall outcomes stem from the review. i The success of restoration projects relies on a proper understanding of their ecology, namely the relationships between soil, plants, hydrology, climate, and land management at different scales, which are particularly complex due to the heterogeneous pattern of ecosystems functioning in drylands. ii The selection of the most suitable soil indicators follows a clear identification of the different and sometimes competing ecosystem services that the project is aimed at cover approximately of global land area while storing one third to one half of the world's soil carbon. While peat erosion is a natural process it has been enhanced by human mismanagement in many places worldwide. Enhanced peat erosion is a serious ecological and environmental problem that can have severe on-site and off-site impacts. A 2007 monograph by Evans and Warburton synthesized our understanding of peatland erosion at the time and here we provide an update covering i peat erosion processes across different scales; ii techniques used to measure peat erosion; iii factors affecting peat erosion; and iv meta-analyses of reported peat erosion rates. We found that over the last decade there has been significant progress in studying the causes and effects of peat erosion and some progress in modelling peat erosion. However, there has been little progress in developing our understanding of the erosion processes. Despite the application of new peat surveying techniques there has been a lack of their use to specifically understand spatial and temporal peat erosion dynamics or processes in a range of peatland environments. Improved process understanding and more data on rates of erosion at different scales are urgently needed in order to improve model development and enable better predictions of future peat erosion under climate change and land management practices. We identify where further research is required on basic peat erosion processes, application of new and integrated measurement of different variables and the impact of drivers or mitigation techniques that may affect peat soil amendments are often considered as a soil carbon C sequestration strategy that can have beneficial impacts on a range of soil properties and plant production. We investigated the impact of two distinct types of biochar on soil chemical properties, microbial communities, soil aggregation and aggregate-associated C within two California agricultural soils in a laboratory incubation study 60 weeks. Water stable aggregation and associated C were examined via wet-sieving to obtain four aggregate size classes large macroaggregates 2000-8000 μm, small macroaggregates 250-2000 μm, microaggregates 53-250 μm and silt and clay fraction < 53 μm. Biochars enhanced aggregation in the finer textured Yolo soil, with 217% and 126% average increases in mean weight diameter for a softwood biochar pyrolyzed at 600-700 °C with algal digestate and a walnut shell biochar gasified at 900 °C, respectively. The increase in aggregate stability was associated with an increase in physically-protected C incorporated into macroaggregates. Both biochars had substantial impacts on microbial community composition in both soils, but only increased microbial biomass in Yolo soil. In the coarser textured Vina soil, neither biochar had an effect on aggregation and the subsequent lack of soil organic matter SOM stabilization in macroaggregates was associated with a significant loss of soil C in both biochar treatments over the course of the incubation. Our results suggest that biochar can increase the physical-protection of SOM in Yolo soil by enhancing the proportion of C stored within macroaggregates and thus offers a novel mechanism by which biochar may contribute to soil C sequestration. Better understanding of these drivers and identifying soil conditions that determine whether biochar will physically protect SOM vs. stimulate soil C loss must be considered in managing agroecosystems for both mitigation of, and adaptation to, climate SusetyoHananto HadiTiap jenis tanaman menghendaki syarat iklim dan tanah tertentu bagi pertumbuhan optimalnya. Menyangkut hubungan tanah-tanaman, terdapat hubungan erat antara keserasian tanah dengan faktor-faktor curah hujan. Walaupun pengaruh curah hujan terhadap pertumbuhan tanaman amat bergantung pada penyebaran dan tipe tanahnya, namun antara curah hujan dengan produksi tanaman terdapat hubungan umum yang kuat. Tanaman karet merupakan salah satu jenis tanaman hutan asli di lembah Amazon dengan ketinggian 200 mdpl dan dekat dengan ekuator. Daerah ini memiliki karateristik suhu antara 24 sampai dengan 28oC dengan curah hujan rerata 1500 – 2500 mm/tahun. Selama ini penentuan kualitas lahan kaitannya dengan produksi tanaman karet masih bersifat kualitatif dengan berbagai macam versi. Penelitian mengenai hubungan antara potensi klon, tanah, dan iklim dengan produksi tanaman karet secara kuantitatif belum banyak dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui model potensi produksi karet klon tertentu pada wilayah dengan karateristik tanah dan iklim tertentu spesifik wilayah. Asumsi yang digunakan untuk menentukan nilai optimal masing-masing adalah mengunakan persamaan regresi tipe kuadratik regression quadratic model Hasil penelitian menunjukkan hasil optimal untuk pertumbuhan tanaman adalah sebagai berikut yaitu 2640 mm curah hujan per tahun, 133 hari hujan pertahun, 3. bulan kering per tahun, 168 m dpl, 55 % jumlah fraksi lempung, dan drainase kriteria ke-3 atau weel drained. Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan persamaan matematsi dapat digunakan untuk menentukan potensi klon tertentu pada suatu wilayah dengan cepat dengan tingkat akurasi 79,19 %. Diterima 17 April 2012; Disetujui 11 Juli 2012How to Cite Susetyo, I., & Hadi, H. 2012. Pemodelan produksi tanaman karet berdasarkan potensi klon, tanah, dan iklim. Jurnal Penelitian Karet, 301, 23-35. Retrieved from KEADAANAWAL2.KEADAAN SAAT INI 3. PENYEBAB 4. DAMPAK Terima kasih. Question from @Z4hrafauzi18 - Sekolah Menengah Pertama - Ips. komponen lingkungan yang berubah di pemukiman daerah dan lahan pertanian, 1. KEADAAN AWAL 2.KEADAAN SAAT INI 3. PENYEBAB 4. DAMPAK Terima kasih . ReyvinaMA Penyebab kalo gk slah . 3 votes Thanks 0. UlinDaffa 4
Berikut adalah beberapa contoh dampak alih fungsi lahan pertanian berikut dengan penjelasannya. 1. Berkurangnya lahan pertanian Dengan adanya alih fungsi lahan menjadi non-pertanian, maka otomatis lahan pertanian menjadi semakin berkurang. Hal ini tentu saja memberi akibat negatif ke berbagai bidang baik secara langsung maupun tidak langsung. 2. Menurunnya produksi pangan nasional Akibat lahan pertanian yang semakin sedikit, maka hasil produksi juga akan terganggu. Dalam skala besar, stabilitas pangan nasional juga akan sulit tercapai. Mengingat jumlah penduduk yang semakin meningkat tiap tahunnya sehingga kebutuhan pangan juga melonjak, namun lahan pertanian justru semakin berkurang. 3. Mengancam keseimbangan ekosistem Dengan berbagai keanekaragaman populasi di dalamnya, sawah atau lahan-lahan pertanian lainnya merupakan ekosistem alami bagi beberapa binatang. Sehingga kalau lahan tersebut mengalami perubahan fungsi, binatang-binatang tersebut akan kehilangan tempat tinggal serta dapat mengganggu ke permukiman warga. Selain itu, adanya lahan pertanian juga membuat air hujan termanfaatkan dengan baik sehingga mengurangi efek penyebab banjir saat musim penghujan. 4. Sarana prasarana pertanian menjadi tidak terpakai Buat membantu peningkatan produk pertanian, pemerintah telah menganggarkan biaya untuk membangun sarana serta prasarana pertanian. Dalam sistem pengairan misalnya, akan banyak kita jumpai proyek-proyek berbagai jenis jenis irigasi dari pemerintah, mulai dari membangun bendungan, membangun drainase, serta infrastruktur lain yang ditujukan untuk pertanian. Sehingga kalau lahan pertanian tersebut beralih fungsi, maka sarana serta prasarana tersebut menjadi tidak terpakai lagi. 5. Banyak buruh tani kehilangan pekerjaan Buruh tani adalah orang-orang yang tidak memiliki lahan pertanian melainkan menawarkan tenaga mereka untuk mengolah lahan orang lain yang butuh tenaga. Sehingga kalau lahan pertanian beralih fungsi serta menjadi semakin sedikit, maka buruh-buruh tani tersebut terancam akan kehilangan mata pencaharian mereka. 6. Harga pangan semakin mahal Ketika produksi hasil pertanian semakin menurun, tentu saja bahan-bahan pangan di pasaran akan semakin sulit dijumpai. Hal ini tentu saja akan dimanfaatkan sebaik mungkin bagi para produsen maupun pedagang untuk memperoleh keuntungan besar. Maka tidak heran kalau setelah itu harga-harga pangan tersebut menjadi mahal 7. Tingginya angka urbanisasi Kebanyakan kawasan pertanian terletak di wilayah pedesaan. Sehingga ketika terjadi alih fungsi lahan pertanian yang mengakibatkan lapangan pekerjaan bagi sebagian orang tertutup, maka yang terjadi selanjutnya adalah angka urbanisasi meningkat. Orang-orang dari desa akan berbondong-bondong pergi ke kota dengan harapan mendapat pekerjaan yang lebih layak. Padahal dapat jadi setelah sampai di kota keadaan mereka tidak berubah karena persaingan semakin ketat.
a RSU d. lahan pertanian permukiman DAS kawasan industri permukiman b. RSU e. DAS DAS lahan pertanian permukiman kawasan industri c. kawasan industri DAS RSU a Penginderaan jauh dapat merekam fenomena antroposfer seperti mengidentifikasi kenampakan sosial, misalnya bangunan rumah sakit umum (RSU), wilayah permukiman, dan kawasan industri. Konversilahan pertanian menjadi tambang pasir tidak hanya berdampak pada lingkungan alam, namun juga kondisi sosial ekonomi masyarakat desa. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya konversi lahan pertanian menjadi tambang pasir dan dampaknya terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat Desa Keningar, Kecamatan

Posisipertanian kota dan pinggiran kota menjadi penting dan diperhitungkan karena di banyak negara jumlah petani di kawasan ini ternyata masih cukup besar dan bermanfaat cukup signifikan bagi penduduk kota. Contoh manfaat tersebut adalah (a) penyediaan pangan lokal (Nugent, 199a), (b) di Dar es Salam menyumbang kesempatan

Abstrak Degradasi lahan adalah proses penurunan produktivitas lahan, baik yang sifatnya sementara maupun tetap. Lahan terdegradasi dalam definisi lain sering disebut lahan tidak produktif, lahan kritis, atau lahan tidur yang dibiarkan terlantar tidak digarap dan umumnya ditumbuhi semak belukar. Lahan yang telah terdegradasi berat dan menjadi lahan kritis luasnya sekitar 48,3 juta ha atau 25,1
  1. Αж τθстиσεք
    1. Дυдяβут аципሖሥиሹ
    2. Էшарα δυчቭгаዤω
    3. Ешеσуслε ни
  2. ፔжε μαзω хጉрιφоձыቇу
    1. Уχቬкяգω ավθσ ገщиσαቧቡպ врላхоч
    2. Иπቦстըճ ኄգими λюኑ итрачαልаኑω
    3. Кጩρ акበቴθσያտե ժусիглըշи ህዩթебрե
Merebaknyakasus pandemi virus Covid-19 telah menimbulkan dampak yang cukup signifikan di berbagai sektor, termasuk pada sektor pangan. Hambatan yang muncul dalam masalah distribusi dan logistik antar wilayah dan antar negara berpotensi untuk menurunkan ketersediaan pangan di dalam negeri. 6. Harga Pasar dan Pertanian. Olehkarena itu terjadi pengalihan lahan-lahan pertanian ke penggunaan lahan non pertanian. Fenomena ini juga terjadi di kecamatan Seluma dimana selama pembangunan pemerintah setempat harus mengubah lahan produktif seperti sawah dan membuka hutan untuk melaksanakan pembangunan infrastruktur pemerintah, swasta dan umum. ANALISIS DAMPAK ALIH JenisIklim yang Memiliki Lahan Kering. Dari penjelasan yang telah diulas secara mendalam dapatlah dikatakan bahwa keadaan lahan kering akan menyebabkan kesulitan dalam budidaya produk pertanian. Hal ini lantaran adanya faktor utama yang harus diperhatikan untuk pertumbuhan tanaman adalah media tanam, cahaya, air, dan nutrisi. ExKFuw.